Seni Sebagai Ungkapan
Seni
merupakan hasil ungkapan emosi seseorang yang ingin disampaikan kepada orang
lain, dilakukan dengan kesengajaan dan kesadaran hidup bermasyarakat.
Ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa “Seni sebagai jalan pemaknaan hidup
manusia,” rupa-rupanya seni memiliki dimensi yang begitu erat terkait dengan dinamika kejiwaan manusia. Seni
membuka pintu selebar-lebarnya bagi semua orang yang hendak menuntaskan hasrat
dalam diri, dalam hal ini seni menjadi medium bagi manusia untuk menangkap objek-objek yang berkelindan dari luar
dirinya, kemudian merumuskan, merefleksi, merepresentasi, hingga
mempresentasikan hasrat-hasrat dalam diri melalui berbagai media yang dimaui, sehingga tubuh memiliki kesehatan
jiwa. Dalam hal ini seni
digunakan manusia untuk mengekspresikan sesuatu. Maka, pada praktiknya sedikit
banyak curahan perasaan turut berpengaruh terhadap hasil karya seseorang. Dalam
proses pembuatan karya seseorang harus mampu menguasai perasaan terlebih
dahulu, mengatur, mengelola sedemikian rupa supaya pada tahap selanjutnya dapat
merepresentasikannya dalam bentuk karya seni. Representasi seni adalah cara seniman dalam mengungkapkan
kebenaran atau kenyataan semesta selaras yang ia temukan. Lalu terbesit sebuah pertanyaan, hal
apakah yang menjadikan seorang seniman berupaya mengungkapkan kebenaran atau
kenyataan semesta selaras temuannya? Yaitu hasrat atau keinginan.
Selanjutnya
seni sebagai hasrat atau keinginan seseorang dalam merepresentasikan sesuatu.
Keinginan selalu merupakan keinginan akan orang lain kata Lacan, sebab
keinginan adalah keinginan akan perbedaan lanjutnya. Apa yang hendak
saya sampaikan adalah seni memiliki flesxibilitas tanpa batas dalam mengakomodir
berbagai ragam aneka keinginan-keinginan dari luar diri seseorang (eksternal)
yang kemudian ia hadirkan kembali dalam bentuk penanda-penanda melalui berbagai media yang dimaui.
Seni yang “berhasil” adalah seni yang mampu membagikan pengalaman estetik, pengalaman
emosi, pengalaman artistik, atau pengalaman seni yang khas untuk dirinya. Clive
Bell memaknai
kualitas seni yang demikian itu sebagai significant
form atau bentuk bermakna. Artinya seni bersifat sensoris, yakni
terindera oleh tubuh manusia. Dari penginderaanlah akan terjadi sebuah gejolak
emosi tertentu dalam diri seniman dan penerima seni. Maka, apa yang dinamakan
oleh pengalaman seni dapat terjadi. Bukankah seni yang baik adalah seni yang
mampu memberikan pengalaman emosi sekaligus kognisi?
Yang
menjadi persoalan bukan sekedar bagaimana seni sebagai medium penuntasan hasrat
diri, melainkan menautkan hasrat dari seniman melalui karyanya dengan orang
lain (masyarakat) sehingga mampu menggali, mengajak, memberi hal-hal baru yang
memiliki nilai kemanfaatan.
Mengapa Tindes
Art?
Keterangan Gambar:
Karya Koskow dalam Pameran bertajuk LOVE
di Bentara Budaya Yogyakarta (Hadis Sally Can Wait 1-6)
Sebelum
saya uraikan bahwa Tindes Art adalah bagian dari seni, mula-mula akan sedikit
saya paparkan asal muasal nama Tindes Art
ini muncul. Sesungguhnya nama Tindes Art keluar begitu
saja dalam sebuah obrolan kecil antara saya dan Bung Koskow[1]
tanpa berpikir tentang landasan filosofis, ideologis, teologis, atau apapun
namanya. Saat itu saya hanya berkelakar begitu saja ketika melihat dan
mendengarkan hasil dari proses berkesenian yang dikerjakan oleh Bung Koskow
menggunakan material kertas, pensil, dan bolpoint yang sudah mati, kemudian
dicetak. Namun seturut perjalanan waktu ada pertanyaan yang menggelitik dan
mengusik diri saya sendiri, mengapa Tindes Art? Rupa-rupanya penanda bagi salah satu jenis laku
berkesenian yang lahir dari rahim seni grafis ini tanpa saya sadari membutuhkan
sebuah argumentasi.
Masih
terasa segar dalam ingatan disuatu
sore yang cerah, Bung Koskow mendatangi kontrakan saya, seperti biasanya
seduhan kopi hangat dan batangan tembakau menjadi ritual wajib yang selalu
menemani perbincangan kami berdua, tiba-tiba. ditengah-tengah perbincangan
beliau bertanya “Cak ngopo kok nganggo
Art, opo sing sampeyan pikirkan,” tanya beliau sambil tertawa. Waktu itu
saya menjawab “Lak Tindes Art yo laku
seni toh Pak,” jawab saya sambil garuk-garuk kepala.
Wal hasil, pada akhirnya
saya pun mau tidak mau harus memberanikan
diri memberikan argumentasi terkait penamaan
tersebut. Oleh karenanya saya mohon ijin untuk menyampaikan pendapat seturut
kemampuan saya berkenaan dengan penamaan Tindes Art dengan pengalaman yang
sangat minim dalam dunia seni rupa dan segala keterbatasan pengetahuan.
Tindes Art terdiri dari dua kata, yakni
Tindes dan Art. Laku penekanan pada kertas atau di tindes (istilah dalam basa
jawa), tindes/nindes atau neken atau membuat jalan parit kata Bung
Koskow adalah sebuah perilaku menambah beban kepada
sesuatu yang dimaui, baik secara segaja atau tidak, kata nekan/nindes identik dengan hal-hal yang bersifat
“negatif”, apalagi ketika kata tersebut mendapatkan imbuhan dan akhiran
(penindasan, menindas, penekanan, menekan, dll) seperti apa yang telah terbahas
di paragrap atas, bahwa seni adalah media bagi manusia untuk menuangkan
expresinya. Dalam hal ini seni mampu mendistorsi
makna sebuah kata yang berkonotasi “negatif” kemudian mengexpansinya menjadi hal lain. Menindes atau
melakukan penekanan adalah kata lain dari represi,
represi selalu menghasilkan ekspresi. Dalam pandangan Lacan
“represi” adalah kata lain dari belajar, bagi mahasiswa ia tidak akan mungkin
dapat mengekspresikan dirinya sebagai mahasiswa jika ia tidak mengikuti
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh lembaga. Dalam Tindes Art represi pada material memunculkan ekspresi setelahnya. Maka, dengan sendirinya kata Art dalam praktik
berkesenian Tindes secara otomatis telah menjadi bagian dalam mekanisme
kerjanya.
Selain daripada
itu tindakan
“menekan” berhubungan erat dengan relasi kekuasaan yang disebut oleh Lacan sebagai wacana tuan-budak
dengan variabel-variabel utama adalah pengakuan, keinginan, dan penikmatan yang
ia kembangkan dari teori Hegel[2]
dimana dalam segala aspek dan bidang kehidupan hubungan antara tuan-budak
selalu hadir, sang tuan mencoba mencerminkan keinginan, permintaan, kebutuhan,
dan lain sebagainya lewat keterasingan budak dari subjektivitasnya sendiri yang
akan selalu terjadi distorsi dalam
praktiknya. Apa yang menjadi keinginan budak tidak selalu selaras oleh
apa yang dimaui tuan. Walaupun pada dasarnya setiap tuan adalah budak pada pertuanannya sendiri[3].
Hal tersebut juga menjangkit pada perilaku berkesenian, yakni antara perupa
dengan karyanya, karya dengan masyarakat, perupa dengan galeri, karya dengan
kolektor seni dan lain sebagainya.
Konsep budak terkait erat dengan
gagasan menjadi tuan kata Lacan begitu pula sebaliknya, seperti halnya hubungan
bayi dengan pengasuh. Dalam kontek wacana budak-tuan ektase (penikmatan) adalah titik pertemuan diantara keduanya,
seperti bayi dan pengasuh masing-masing berperan sebagai budak-tuan, sama
halnya seorang majikan dan buruh, siapa menjadi tuan dan siapa budak? dengan
kata lain, majikan berusaha memposisikan dirinya sebagai tuan, namun pada saat
yang bersamaan ia diperbudak oleh status majikan yang tersemat pada dirinya,
begitu pula sebaliknya, buruh pada posisi budak pada saat memiliki keinginan
yang tidak pernah diakomodir, diwujudkan, atau bahkan dimaui oleh majikan,
buruh akan merasa bahwa majikan tidak mengerti apa yang menjadi
keinginannya, akan tetapi pada saat yang bersamaan sang tuan menjadi budak dari
buruh sebab ketergantungan kehidupan ekonomi majikan, misal, ia gantungkan pada kinerja
buruh.
Dalam konteks Tindes Art, hubungan
perupa atau pelaku praktik berkesenian menggunakan teknik “nindes” pada material dasar kertas menggunakan pensil atau bolpoin merupakan representasi dari wacana budak-tuan dalam proses pembuatan
karya.
Bagaimana perupa dihadapkan pada material yang sudah diakrabi yakni kertas dan pensil. Dimana pada saat yang sama seorang perupa menjadi tuan atas media yang ada
dihadapannya, ia dapat mengexpresikan pengalaman seni, estetik, dan artistik
seturut kemauannya,
namun ia juga menjadi budak dari media tersebut. Artinya perupa dibatasi oleh media yang ia gunakan,
kebebasan mengexpresikan pengalaman diri tidak serta merta dapat ia tuangkan
begitu saja. Maka, bagi seorang perupa sudah selayaknya untuk mempertimbangkan tingkat ketahanan
kertas (pengetahuan atas karakter kertas) sebagai media yang telah diakrabi supaya berhasil melahirkan karya seni
seperti yang ia maui.
Sedangkan dalam kehidupan kita sehari-hari, kertas dan pensil begitu sangat
diakrabi, namun tatkala kertas dan pensil dialih fungsikan pada praktik-praktik
tertentu dalam hal ini dipergunakan dalam proses berkesenian (tindes art), kertas dan pensil menjadi
“asing”, karena pergeseran fungsi dari sesuatu
yang sudah lazim (baca: digunakan menulis, menggambar dalam arti konvensional) yang melekat pada dirinya (kertas dan
pensil),
menjadi tidak biasa, dan pada saat yang sama keterasingan material mampu
menghantarkan hasrat/keinginan dari perupa untuk mencapai ektase (penikmatan) tersendiri. Seperti halnya material
yang terasing, begitu pula perupa juga menjadi “asing” bagi material yang dihadapinya, jika
kita mengandaikan hubungan komunikasi antara perupa sebagai subjek dan material
sebagai objek dalam hal ini. Bukankah dalam hubungan komunikasi adalah bahwa setiap penuturan bahasa yang
terlontar bukanlah suatu yang gamblang, melainkan selalu ada yang tersisa,
penambahan, pengurangan, rekayasa, atau bahkan perubahan, dll.
Material dalam tindes Art dengan perupa berkomunikasi melalui ke-akraban yang sudah
terjalin secara primordial, sedangkan perupa berkomunikasi lewat teknik dan
imaji-imaji seturut
pengalaman estetis, dibutuhkan teknik tersendiri supaya material yang sudah diakrabi tahan lama atau tidak mudah rusak, hingga mewujud pada proses terciptanya sebuah
karya seni beserta seluruh variabel-variabel yang
terdapat di dalamnya. Tak ada yang lebih menakutkan manusia daripada
persentuhan dengan yang tidak di kenal kata Ellias Canetti.
Tindes Art Sebagai Pengalaman Seni (Kebutuhan, Permintaan, dan Keinginan)
Telah dibahas sebelumnya bahwa
seni sangat terkait erat dengan pengalaman hidup manusia. Bagaimana manusia
berinteraksi dengan alam lingkungannya, termasuk terhadap benda seni buatan
manusia itu sendiri. Berbekal pengalaman yang mengusik emosi, indera dan alam
lingkungan sekitar. Sebuah pengalaman berlangsung dalam kurun waktu tertentu.
Jika ada siang pasti ada malam, jika ada senang pasti ada sedih, dan jika ada
awal pasti ada akhirnya. Setiap pengalaman selalu memunculkan sesuatu yang unik,
tak biasa, dan bahkan tak terlupakan, ia mendiami alam bawah sadar manusia.
Dalam ilmu seni pengalaman seseorang bersentuhan dengan benda seni dinamai
pengalaman seni atau pengalaman estetik. Istilah serupa ini lazim
diperbincangkan dalam persinggungannya dengan penikmat seni. Seperti pengalaman
hidup sehari-hari, maka pengalaman seni merupakan suatu pengalaman utuh yang
selalu berkelindan perasaan, pikiran, penderitaan, dan berbagai macam intuisi
manusia. Namun pengalaman seni terjadi dalam fase-fase pengalaman khusus atau
tertentu yang terkadang tidak sama dengan pengalaman sehari-hari. Selain dari pada
pengalaman seni, tersemat juga pengalaman artistik yang beranjak dari
pengalaman estetik sebagai dasar sebuah terciptanya karya seni. Pengalaman
estetik dalam hal ini masih bersifat pasif jika tidak diikuti oleh proses
kegiatan produksi. Sedangkan pengalaman artistik memberi sebuah penggambaran
tentang mekanisme kerja penciptaan karya seni yang penuh daya kreativitas tanpa
batas dengan sungguh-sungguh serta melibatkan pengalaman “terunik” yang pernah seniman
hadapi.
Seni adalah “kebebasan” bagi
sebagian kalangan seni, artinya dalam seni tidak ada suatu apapun yang dapat
mendikte seniman dan penikmatnya, sebagaimana seorang perupa yang membuat
karya, ia berupaya mewujudkan apa yang dirasakan dan pikirkan. Perkara makna
atau penilaian penikmat, itu terserah kepada penikmatnya. Apa yang hendak
disampaikan oleh perupa boleh jadi berbeda dengan penangkapan penikmat seni dan
hal itu adalah sah. Asalkan perbedaan pandangan itu bertolak dari fakta karya
seni itu sendiri. Bukankah dalam karya seni memang bukan seperti sebuah ilmu
pengetahuan yang harus jelas batas dan muatan/isi pengertiannya? Sebuah karya
seni disebut seni apabila ia mampu memberikan rangsangan dan daya hidup atau
daya cipta bagi penikmatnya. Karena seni memiliki keindahan yang dapat
menggugah jiwa manusia. Menurut wejangan
Ki Hajar Dewantara bahwa
seni merupakan hasil dari keindahan yang dapat menggerakkan perasaan seseorang
tentang keindahan bagi yang melihat. Seniman dan penikmat berdialektika melalui
karya seni secara dinamis, dalam hal ini seniman menciptakan sebuah karya
seturut pengalaman yang ia alami, sedangkan penikmat menghayati karya seni
melalui penginderaanya yang dapat menggerakan kandungan syaraf pikiran dan
perasaannya.
Pada akhirnya, sebuah proses
terciptanya karya seni selalu kembali kepada penikmat dan penerima seni. Karena
banyak diantara para seniman yang mewarnai dunia kesenian di Indonesia mustahil
secara holistik[4]
mampu melingkupi selera penikmat seni. Bagi penikmat musik dangdut tentu akan
menilai musik clasik adalah musik yang membosankan, atau bahkan tidak bermakna
apapun, begitu pula sebaliknya. Yang ingin hendak saya sampaikan adalah bahwa
tidak semua orang selalu menyukai dan menerima sebuah karya seni yang dinilai
bagus. Permasalahan bukan berada pada sebuah pemahaman aliran seninya, akan
tetapi terdapat pada selera seni masing-masing orang. Terkadang perkara selera
ini dapat menjerumuskan seseorang pada kesan “fanatik”. Masalah selera tidak
dapat diperdebatkan. Karena baik seniman, penanggap seni, maupun penikmat seni
mempunyai selera masing-masing. Jika berpijak pada kontek seni sebagai
pengalaman, perbedaan cara pandang diantara seniman dan penikmat seni apabila
dihadapkan pada karya seni yang dianggap mewakili apresiasi seni tinggi atau
atas jika boleh meminjam klasifikasi yang diungkapkan oleh Sanento Yuliman
(seni atas dan seni bawah) pun seharusnya juga mau mengambil dari pengalaman
seni yang lain (yang dianggap bawah)
Berpijak pada paparan diatas,
Tindes Art sebagai “anak yang baru saja lahir kembali” dari rahim seni grafis
mempunyai kriteria-kriteria yang dimaui atau disebut sebagai seni. Dimana dalam
proses kemunculannya Tindes Art juga melibatkan pengalaman seni, pengalaman
estetik, dan pengalaman artistik. Dalam teori pembentukan subjek, Lacan
mengungkapkan bahwa setiap manusia adalah subjek yang (dungu) tidak memiliki
pengetahuan apa-apa sebelum ia mendapatkan pengetahuan dari luar dirinya.
Artinya manusia tidak mungkin memiliki sebuah pengetahuan tanpa
informasi-informasi yang tersampaikan dari luar untuk dirinya, begitu pula
dalam proses Tindes Art, mustahil bagi Tindes Art menjadi sebuah proses
penciptaan sebuah karya tanpa melihat, mendengar, merasakan sesuatu yang berada
di luar dirinya sebagai sumber inspirasi utama yaitu seni grafis. Dalam kajian
psikoanalisis seseorang tidak akan berhasil membentuk dirinya sendiri tanpa
pengaruh-pengaruh dari luar atau Yang Lain, sedangkan pengaruh-pengaruh dari
luar akan kembali di produksi dalam tubuh sedemikian rupa kemudian direpresentasikan
kembali dalam bentuk karya seni. Tindes Art adalah subjek yang dibentuk. Ia dibentuk
dari keinginan pengalaman seni, pengalaman estetik, dan pengalaman artistik. Seperti
itu pula mekanisme terbentuknya Tindes Art, apabila kita mendudukan posisi
Tindes Art sebagai subjek dalam hal ini. Jika diasosiasikan seturut teori Lacan
terkait kebutuhan, permintaan, dan keinginan. Tindes Art sebagai anak yang baru
lahir dari Rahim seni grafis pun memiliki unsur-unsur kebutuhan, permintaan,
dan keinginan. Kebutuhan dalam kontek Tindes Art adalah kebutuhan akan
material, sebab ia harus ada sebagai media utama. Kertas dan pensil tidak
mungkin tidak akan ada dalam proses pembuatan karya ala Tindes Art, kemudian
apa yang hendak diminta oleh Tindes Art? Objek permintaan Tindes Art adalah
objek-objek yang berserakan diluar dirinya, yang saya maksudkan adalah objek
atas pengakuan, keinginan, dan penikmatan[5].
Pengakuan atas cara yang digunakan Tindes Art sebagai bagian dari laku
berkesenian yang terlingkup oleh seni grafis, sedangkan objek keinginan seperti
apa yang telah diterangkan di atas bahwa keinginan adalah keinginan akan
keinginan Yang Lain, dan akan perbedaan, adalah bagaimana Tindes Art
terus-menerus berkelindan dengan keinginan dari Yang Lain, hal serupa itu
tergambar dari pengalaman workshop yang pernah dilakukan, dimana seorang
peserta workshop memberikan atau menambahkan pengetahuan supaya kertas yang
menjadi material utama lebih memiliki ketahanan agar tidak mudah rusak dengan
membubuhi material lain pada kertas yakni lem fox[6]. Lacan
mengatakan bahwa keinginan adalah milik bahasa[7], dan
seni adalah sebuah ungkapan “bahasa pengalaman”, maka seni merupakan milik
bersama, bukan milik individu siapa pun, karena setiap keinginan individual
merupakan bagian dari bahasa. Seperti itu pula mekanisme terbentuknya Tindes
Art, apabila kita mendudukan posisi Tindes Art sebagai subjek yang dibentuk dalam
hal ini.
Tindes Art sebagai Pendidikan
Alternatif
Seni ialah segala bentuk usaha dalam
menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan dan membahagiakan.
(Schopenhauer)
St. Sunardi mengatakan seni itu
menyehatkan, kemudian pertanyaan yang dapat diajukan dalam kontek kesehatan
adalah apa yang menyehatkan dari seni? Apabila seni dikatakan sebagai jalan
pemaknaan hidup manusia, maka kita bisa ajukan tesis bahwa seni dapat menjadi salah satu media bagi penuntasan hasrat dalam diri
manusia seturut mekanisme
kerja seni. Seringkali kita menemukan kasus-kasus seperti “calon anggota legiselatif dari partai
A menjadi gila akibat tidak terpilih, si anak B gantung diri karena
keinginannya tidak dituruti oleh orang tua, siswa-siswi sekolah C kesurupan
masal menghadap UAN dan lain sebagainya” ketika sebuah keinginan tidak dapat
tertuntaskan atau terpendam
dan tidak dapat keluar dari dalam diri akan dapat mengakibatkan hal-hal buruk bagi manusia. Pada posisi seperti ini, seni dapat memposisikan dirinya sebagai media terapi bagi seseorang. Karena seni mampu menjadi media bagi penuntasan
hasrat manusia.
Kemudian,
bagaimana seni dapat menduduki posisi sebagai media terapi bagi manusia, yakni
dengan memberikan pendidikan seni sejak dini. Pada tataran anak-anak
kegiatan-kegiatan pengenalan atas seni menjadi begitu sangat penting, bagaimana seorang
manusia menentukan pilihan jalan hidup di masa depan sangat terkait erat dengan
pengalaman-pengalaman yang mereka alami pada masa kanak-kanak ketika berada
pada fase cermin.
Memperkenalkan seni sejak dini adalah tugas siapa saja, bukan sekedar tanggung
jawab seniman, lembaga pendidikan, sanggar, atau pemerintah..
Pendidikan seni di
negeri ini sepertinya masih belum menjadi arus
pemikiran bangsanya, Harapan bahwa seni sebagai garda terdepan bagi perbaikan
bangsa rupa-rupanya masih seperti
kata pepatah bagai si bungkuk merindukan
bulan, hal tersebut tercermin dari dunia pendidikan kita hari ini bahwa
mata pelajaran kesenian mendapatkan porsi tidak lebih dari satu atau dua jam
dalam satu minggu pada SD, SLTP, SLTA. Oleh
karenanya gerak-gerik laku berkesenian yang beroperasi di ruang-ruang non formal
sangat dibutuhkan untuk mengakomodir minimnya pendidikan seni melalui ruang formal. Salah satu
cara yang dapat dilakukan adalah dengan membuka ruang-ruang workshop
ditengah-tengah masyarakat.
Sebagaimana laku
berkesenian yang telah dilakukan oleh seni lainya yakni berupa workshop Tindes
art pun melakukan hal yang sama. Seperti yang nampak pada beberapa gambar
di atas, kita dapat melihat betapa antusiasnya anak-anak mengikuti workshop[8]
ini, kedekataan anak-anak dengan material dasar kertas dan
pensil yang digunakan dengan cara berbeda menjadikan mereka mengalami situasi
apa yang disebut oleh Lacan sebagai peristiwa histeris.
Sebagai
pendidikian, seni
selalu melibatkan
sebuah nilai, bukan bentuknya atau bendanya. Nilai adalah sesuatu yang bersifat
subjektif, selaras masing-masing
manusia yang menilainya. Nilai juga bisa dimaknai sebagai esensi, sebuah
pondasi atau landasan dasar yang dapat masuk kedalam aspek intrinsik seni yakni struktur bentuk seni berserta
variabel-variabel yang melingkupinya dan
kedalam aspek ekstrinsiknya
yang berupa norma agama, moral, psikologi, sosial, politik, dll. Aspek intrinsik selalu berkaitan dengan kebendaan atau
bersifat material yang membentuk karya seni jika dalam tindes art material
tersebut adalah kertas, pensil, bolpoint, tinta cetak, roll, dll. Selanjutnya
penggunaan bahan material tadi dilandasi oleh gagasan, pikiran, perasaan
seniman, hingga menjadi satu karya seni. Keduanya tidak mungkin terpisahkan.
Tindes Art pada kedua aspek tadi memiliki nilai
pendidikan tersendiri dalam prosesnya. Kertas dan pensil sebagai material dasar
adalah benda-benda yang mudah didapat dan telah diakrabi kita. Nilai pendidikan
yang dapat diambil dari hal ini, seperti yang telah di jelaskan diatas bahwa
hal-hal yang dekat dan telah diakrabi seperti kertas dan pensil dapat
dipergunakan dalam kontek berbeda yang pada akhirnya bisa menghasilkan sesuatu
yang berbeda pula. Artinya melalui media tersebut diharapkan supaya orang dapat
terangsang untuk menggerakan daya kreativitas dirinya dalam melihat benda-benda
yang dekat di kehidupan sehari-hari dengan cara pandang seni. Apabila hal itu
terjadi, bukan hanya akan menghasilkan karya seni, tapi akan dapat memperkaya
khazanah berkesenian.
Apalagi pada era globalisasi seperti
sekarang ini. Dimana pelbagai nilai-nilai dari luar masuk begitu deras menggerus segala
lini dan bidang yang ada dalam negeri. Dalam konteks ini seni diharapkan dapat menjadi garda terdepan sebagai filtering, dalam konteks ini golablisasi ujung-ujungnya membahas
persoalan objek-objek keinginan yang hadir di tengah-tengah masyarakat dari
segala penjuru dunia, disini peran seni dibutuhkan supaya memberi ruang
dialektika antara nilai-nilai yang datang dari luar akibat globalisasi dengan
nilai-nilai yang sudah menetap dalam masyarakat Indonesia.
Tindes Art dalam
terapan
“...Apalah
artinya rendah-rendah kesenian bila terlepas dari derita lingkungan
Apalah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan....”
(Ws. Rendra)
Keterangan
gambar Tindes Art dalam aplikasinya (Gambar diambil dari file Tindes Art
Koskow)
1.
Sepatu
karya Koskow
2.
Kaos
karya salah satu peserta workshop
3.
Tas
karya salah satu peserta workshop
4.
Souvenir
karya Koskow untuk pernikan salah satu teman
Manusia
sebagai mahluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat tidak akan lepas dari
sintem nilai. Salah satu sistem nilai yang berkelindan ditengah-tengah
masyarakat adalah sistem nilai dasar materi yang menjadi kebutuhan pokok dan
mampu mendominasi nilai yang lain dalam kebudayaan di masyarakat. Bagi
masyarakat materi adalah hal penting dalam kehidupan. Karena materi menjadi
parameter utama yang harus dicapai untuk bertahan hidup. Oleh karenanya nilai
seni masyarakat pada konteks ini bertendensi kepada nilai dasar ini. Seperti
halnya dalam masyarakat terpelajar yang nilai dasarnya mengacu pada pengetahuan
dan mengarah kepada kesempurnaan hidup, dan nilai seni juga berlandaskan acuan
itu. Dalam hal ini seni akan selalu berdialektika dengan sistem nilai yang ada
pada masyarakat secara dinamis. Tindes Art sebagai “anak kandung” seni grafis pada terapannya berupaya membangun
ruang dialektik melalui media-media yang dapat memiliki nilai guna, yang diaplikasikan pada berbagai media seperti tas, dompet,
sepatu, kaos, buku, dll. Pula dapat dipoduksi secara masal, bukan hendak bermaksud menurunkan derajat seni, namun
kita dapat melihat dari sudut pandang nilai kemanfaatan yang dihasilkan
daripadanya.
The poverty of philosophy kritik
Karl Max. Filsafat atau pemikiran apapun dianggap
miskin kalau hanya berhenti untuk menjelaskan dan tidak unttuk mengubah. Oleh
karena itu Tindes
Art berupaya supaya tidak hanya berkutat pada lingkup dunia
seni semata, namun ia juga berusaha memberikan nilai kemanfaatan yang lain bagi masyarakat yakni dari aspek ekonomis. Mengapa? Karena nilai
ekonomis dapat menjadi daya tarik
tersendiri bagi
masyarakat agar
mendekat pada dunia seni, apabila nilai dasar yang dominan pada masyarakat adalah
persoalan materi. Dan
hal itu bukan sesuatu yang salah bagi dunia seni. Supaya tidak terjebak oleh ungkapan Karl Max, bahwa masyarakat seni sudah sepatutnya memberikan
pengetahuan, pengertian, pemahaman, hingga ke tataran praktik kepada masyarakat bahwa dengan
belajar, dan mengetahui seni dapat menghidupi mereka. Bukan sekedar menghidupi jiwa,
melainkan menghidupi kebutuhan fisik.
Kesimpulan
Setiap manusia memiliki keinginan pribadi yang
berbeda-beda yang disebabkan oleh kebutuhan hidup serta pemaknaan terhadap
hidup yang berbeda-beda. Hal ini sangat mempengaruhi cara pandang seseorang
dalam memaknai dan menghayati sebuah karya seni yang sama. Pada satu karya yang
sama seorang penikmat seni atau penerima seni ada yang menaruh perhatiannya
pada gejala sosial, ada yang religius, ada yang menumpuhkan perhatiannya pada
persoalan kejiwaan individu, ekonomi, dan lain sebagianya. Akan banyak ragam
sudut pandang yang mencerminkan penikmatnya melalui sebuah karya seni. Bung
Koskow sebagai seorang yang mengembangkan teknik tindes jika ditelisik dari
paparan-paparan diatas rupa-rupanya ia berpijak pada bagaimana seni selalu
memberikan pilihan-pilihan bagi penerimanya. Oleh karenanya pilihan yang sudah
dihadirkan tindes art ditengah-tengah dunia seni akan selalu memberikan ruang
bagi siapapun, dan dalam bentuk apapun, untuk memberikan gagasan-gagasan
terkait pengembangan teknik ini. Harus diakui pula dengan umurnya yang belum
genap sepanenan jagung teknik tindes
ini belum cukup teruji jaman, namun setidak-tidaknya ia pernah mewarnai dunia
seni.
Sebagai anak yang terlahir dari rahim Seni Grafis, tindes art tidak
hanya berkelindan dengan pengalaman-pengalaman seni, estetik, maupun artistik,
namun juga dapat memberikan nilai manfaat pada sisi yang lain pada terapannya,
yakni ekonomis. Selain itu teknik ini dapat memberikan kesenangan tersendiri
bagi seseorang dikala melakukan praktik, dikarenakan keakraban antara perupa
dengan media kertas, pensil, dan bolpoin yang diterapkan pada hal yang berbeda.
Selamat Membaca.
Refrensi.
Silabus Kajian
Budaya Jurusan IRB, Sanata Dharma,
Yogyakarta
Hill, Philip, Lacan For Beginners, Writer and readers
Publishing, inc 1997, diterjemahkan oleh penerbit Kanisisus, Yogyakarta, tahun
2002.
Paper berjudul “Kajian Budaya dalam Pengembangan Ilmu-Ilmu
Humaniora” oleh St. Sunardi pada pertemuan perkuliahan hari pertama.
Paper “Way Of Life Seni Cetak Grafis” oleh:
AC. Tanama
Obrolan dengan
Bung Koskow
[1] Staf pengajar Jurusan
Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa, Institute Seni Indonesia,
Yogyakarta. Beliau yang mengembangkan cara kerja teknik Tindes Art ini, meski
dalam sebuah kesempatan beliau sendiri mengakui bahwa teknik ini bukanlah
sesuatu yang baru. Dan beliau menegaskan bahwa pengalaman dasar yang ia
dapatkan untuk melakukan explorasi teknik dan media di dapat ketika diajar oleh
Pak Tisna Sanjaya pada waktu mengenyam pendidikan di ITB.
[2]Hill, Philip (1997), LACAN
FOR BEGINNERS, Writers and Readers Publhising, dalam terjemahan Penerbit
Kanisius (2002) hal 88.
[3]Ibid, hal 89
[4] Suatu cara pandang
yang menyatakan bahwa keseluruhan sebagai satu kesatuan lebih penting dari pada
bagian-bagiannya. Jika kata holistik ini dipakai dalam rangka pelayanan kepada
orang lain yang membutuhkan maka mempunyai arti layanan yang diberikan kepada
sesama atau manusia secara utuh. Baik fisik, mental, sosial, dan spiritual
mendapat perhatian yang seimbang.
[5]Saya hendak mengatakan Tindes Art dalam arti yang luas, tidak
sebatas pada material yang digunakan semata, namun juga pada pelaku dalam hal
ini siapa pun yang menggunakan teknik Tindes dalam proses pembuatan karya seni.
[6] Penambahan Lem Fox ini di ajukan oleh mahasiswa semester
tiga ITS, ketika workshop Tondes Art dilakukan
di sana.
[7]
Ibid, hal 65
[8] Sebagai catatan
workshop Tindes Art setahun terakhir telah di gelar di berbagai tempat dan
acara, beberapa di antaranya di FKY, PP. Nurul Ummah Kota Gede, Kampus ISI
Yogyakarta, Kampus ITS Surabaya, DAGADU, di acara pernikahan, Biennale Equator
di Radio Buku, di rumah Pak Koskow bersama anak-anak, di pameran buku bertajuk
“Kampung Buku” di Kota Semarang, di Kota Salatiga, di Kota Ponorogo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar