Cari Blog Ini

Senin, 29 Februari 2016

Tindes Art, Sebuah catatan dalam KTP kesenian.




Seni Sebagai Ungkapan
Seni merupakan hasil ungkapan emosi seseorang yang ingin disampaikan kepada orang lain, dilakukan dengan kesengajaan dan kesadaran hidup bermasyarakat.
(Popo Iskandar)
Ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa “Seni sebagai jalan pemaknaan hidup manusia,” rupa-rupanya seni memiliki dimensi yang begitu erat terkait dengan dinamika kejiwaan manusia. Seni membuka pintu selebar-lebarnya bagi semua orang yang hendak menuntaskan hasrat dalam diri, dalam hal ini seni menjadi medium bagi manusia untuk menangkap objek-objek yang berkelindan dari luar dirinya, kemudian merumuskan, merefleksi, merepresentasi, hingga mempresentasikan hasrat-hasrat dalam diri melalui berbagai media yang dimaui, sehingga tubuh memiliki kesehatan jiwa. Dalam hal ini seni digunakan manusia untuk mengekspresikan sesuatu. Maka, pada praktiknya sedikit banyak curahan perasaan turut berpengaruh terhadap hasil karya seseorang. Dalam proses pembuatan karya seseorang harus mampu menguasai perasaan terlebih dahulu, mengatur, mengelola sedemikian rupa supaya pada tahap selanjutnya dapat merepresentasikannya dalam bentuk karya seni. Representasi seni adalah cara seniman dalam mengungkapkan kebenaran atau kenyataan semesta selaras yang ia temukan. Lalu terbesit sebuah pertanyaan, hal apakah yang menjadikan seorang seniman berupaya mengungkapkan kebenaran atau kenyataan semesta selaras temuannya? Yaitu hasrat atau keinginan. 
Selanjutnya seni sebagai hasrat atau keinginan seseorang dalam merepresentasikan sesuatu. Keinginan selalu merupakan keinginan akan orang lain kata Lacan, sebab keinginan adalah keinginan akan perbedaan lanjutnya. Apa yang hendak saya sampaikan adalah seni memiliki flesxibilitas tanpa batas dalam mengakomodir berbagai ragam aneka keinginan-keinginan dari luar diri seseorang (eksternal) yang kemudian ia hadirkan kembali dalam bentuk penanda-penanda melalui berbagai media yang dimaui. Seni yang “berhasil” adalah seni yang mampu membagikan pengalaman estetik, pengalaman emosi, pengalaman artistik, atau pengalaman seni yang khas untuk dirinya. Clive Bell memaknai kualitas seni yang demikian itu sebagai significant form atau bentuk bermakna. Artinya seni bersifat sensoris, yakni terindera oleh tubuh manusia. Dari penginderaanlah akan terjadi sebuah gejolak emosi tertentu dalam diri seniman dan penerima seni. Maka, apa yang dinamakan oleh pengalaman seni dapat terjadi. Bukankah seni yang baik adalah seni yang mampu memberikan pengalaman emosi sekaligus kognisi? 
Yang menjadi persoalan bukan sekedar bagaimana seni sebagai medium penuntasan hasrat diri, melainkan menautkan hasrat dari seniman melalui karyanya dengan orang lain (masyarakat) sehingga mampu menggali, mengajak, memberi hal-hal baru yang memiliki nilai kemanfaatan.
Mengapa Tindes Art?







Keterangan Gambar:
Karya Koskow dalam Pameran bertajuk LOVE di Bentara Budaya Yogyakarta (Hadis Sally Can Wait 1-6)

Sebelum saya uraikan bahwa Tindes Art adalah bagian dari seni, mula-mula akan sedikit saya paparkan asal muasal nama Tindes Art ini muncul. Sesungguhnya nama Tindes Art keluar begitu saja dalam sebuah obrolan kecil antara saya dan Bung Koskow[1] tanpa berpikir tentang landasan filosofis, ideologis, teologis, atau apapun namanya. Saat itu saya hanya berkelakar begitu saja ketika melihat dan mendengarkan hasil dari proses berkesenian yang dikerjakan oleh Bung Koskow menggunakan material kertas, pensil, dan bolpoint yang sudah mati, kemudian dicetak. Namun seturut perjalanan waktu ada pertanyaan yang menggelitik dan mengusik diri saya sendiri, mengapa Tindes Art? Rupa-rupanya penanda bagi salah satu jenis laku berkesenian yang lahir dari rahim seni grafis ini tanpa saya sadari membutuhkan sebuah argumentasi.
Masih terasa segar dalam ingatan disuatu sore yang cerah, Bung Koskow mendatangi kontrakan saya, seperti biasanya seduhan kopi hangat dan batangan tembakau menjadi ritual wajib yang selalu menemani perbincangan kami berdua, tiba-tiba. ditengah-tengah perbincangan beliau bertanya “Cak ngopo kok nganggo Art, opo sing sampeyan pikirkan,” tanya beliau sambil tertawa. Waktu itu saya menjawab “Lak Tindes Art yo laku seni toh Pak,” jawab saya sambil garuk-garuk kepala.
Wal hasil, pada akhirnya saya pun mau tidak mau harus memberanikan diri memberikan argumentasi terkait penamaan tersebut. Oleh karenanya saya mohon ijin untuk menyampaikan pendapat seturut kemampuan saya berkenaan dengan penamaan Tindes Art dengan pengalaman yang sangat minim dalam dunia seni rupa dan segala keterbatasan pengetahuan.
Tindes Art terdiri dari dua kata, yakni Tindes dan Art. Laku penekanan pada kertas atau di tindes (istilah dalam basa jawa), tindes/nindes atau neken atau membuat jalan parit kata Bung Koskow adalah sebuah perilaku menambah beban kepada sesuatu yang dimaui, baik secara segaja atau tidak, kata nekan/nindes identik dengan hal-hal yang bersifat “negatif”, apalagi ketika kata tersebut mendapatkan imbuhan dan akhiran (penindasan, menindas, penekanan, menekan, dll) seperti apa yang telah terbahas di paragrap atas, bahwa seni adalah media bagi manusia untuk menuangkan expresinya. Dalam hal ini seni mampu mendistorsi makna sebuah kata yang berkonotasi “negatif” kemudian mengexpansinya menjadi hal lain. Menindes atau melakukan penekanan adalah kata lain dari represi, represi selalu menghasilkan ekspresi. Dalam pandangan Lacan “represi” adalah kata lain dari belajar, bagi mahasiswa ia tidak akan mungkin dapat mengekspresikan dirinya sebagai mahasiswa jika ia tidak mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh lembaga. Dalam Tindes Art represi pada material memunculkan ekspresi setelahnya. Maka, dengan sendirinya kata Art dalam praktik berkesenian Tindes secara otomatis telah menjadi bagian dalam mekanisme kerjanya.
Selain daripada itu tindakan “menekan” berhubungan erat dengan relasi kekuasaan  yang disebut oleh Lacan sebagai wacana tuan-budak dengan variabel-variabel utama adalah pengakuan, keinginan, dan penikmatan yang ia kembangkan dari teori Hegel[2] dimana dalam segala aspek dan bidang kehidupan hubungan antara tuan-budak selalu hadir, sang tuan mencoba mencerminkan keinginan, permintaan, kebutuhan, dan lain sebagainya lewat keterasingan budak dari subjektivitasnya sendiri yang akan selalu terjadi distorsi dalam praktiknya. Apa yang menjadi keinginan budak tidak selalu selaras oleh apa yang dimaui tuan. Walaupun pada dasarnya setiap tuan adalah budak pada pertuanannya sendiri[3]. Hal tersebut juga menjangkit pada perilaku berkesenian, yakni antara perupa dengan karyanya, karya dengan masyarakat, perupa dengan galeri, karya dengan kolektor seni dan lain sebagainya.
Konsep budak terkait erat dengan gagasan menjadi tuan kata Lacan begitu pula sebaliknya, seperti halnya hubungan bayi dengan pengasuh. Dalam kontek wacana budak-tuan ektase (penikmatan) adalah titik pertemuan diantara keduanya, seperti bayi dan pengasuh masing-masing berperan sebagai budak-tuan, sama halnya seorang majikan dan buruh, siapa menjadi tuan dan siapa budak? dengan kata lain, majikan berusaha memposisikan dirinya sebagai tuan, namun pada saat yang bersamaan ia diperbudak oleh status majikan yang tersemat pada dirinya, begitu pula sebaliknya, buruh pada posisi budak pada saat memiliki keinginan yang tidak pernah diakomodir, diwujudkan, atau bahkan dimaui oleh majikan, buruh akan merasa bahwa majikan tidak mengerti apa yang menjadi keinginannya, akan tetapi pada saat yang bersamaan sang tuan menjadi budak dari buruh sebab ketergantungan kehidupan ekonomi majikan, misal, ia gantungkan pada kinerja buruh.
Dalam konteks Tindes Art, hubungan perupa atau pelaku praktik berkesenian menggunakan teknik “nindes” pada material dasar kertas menggunakan pensil atau bolpoin merupakan representasi dari wacana budak-tuan dalam proses pembuatan karya. Bagaimana perupa dihadapkan pada material yang sudah diakrabi yakni kertas dan pensil. Dimana pada saat yang sama seorang perupa menjadi tuan atas media yang ada dihadapannya, ia dapat mengexpresikan pengalaman seni, estetik, dan artistik seturut kemauannya, namun ia juga menjadi budak dari media tersebut. Artinya perupa dibatasi oleh media yang ia gunakan, kebebasan mengexpresikan pengalaman diri tidak serta merta dapat ia tuangkan begitu saja. Maka, bagi seorang perupa sudah selayaknya untuk mempertimbangkan tingkat ketahanan kertas (pengetahuan atas karakter kertas) sebagai media yang telah diakrabi supaya berhasil melahirkan karya seni seperti yang ia maui.
Sedangkan dalam kehidupan kita sehari-hari, kertas dan pensil begitu sangat diakrabi, namun tatkala kertas dan pensil dialih fungsikan pada praktik-praktik tertentu dalam hal ini dipergunakan dalam proses berkesenian (tindes art), kertas dan pensil menjadi asing, karena pergeseran fungsi dari sesuatu yang sudah lazim (baca: digunakan menulis, menggambar dalam arti konvensional) yang melekat pada dirinya (kertas dan pensil), menjadi tidak biasa, dan pada saat yang sama keterasingan material mampu menghantarkan hasrat/keinginan dari perupa untuk mencapai ektase (penikmatan) tersendiri. Seperti halnya material yang terasing, begitu pula perupa juga menjadi asing bagi material yang dihadapinya, jika kita mengandaikan hubungan komunikasi antara perupa sebagai subjek dan material sebagai objek dalam hal ini. Bukankah dalam hubungan komunikasi adalah bahwa setiap penuturan bahasa yang terlontar bukanlah suatu yang gamblang, melainkan selalu ada yang tersisa, penambahan, pengurangan, rekayasa, atau bahkan perubahan, dll.
Material dalam tindes Art dengan perupa berkomunikasi melalui ke-akraban yang sudah terjalin secara primordial, sedangkan perupa berkomunikasi lewat teknik dan imaji-imaji seturut pengalaman estetis, dibutuhkan teknik tersendiri supaya material yang sudah diakrabi tahan lama atau tidak mudah rusak, hingga mewujud pada proses terciptanya sebuah karya seni beserta seluruh variabel-variabel yang terdapat di dalamnya. Tak ada yang lebih menakutkan manusia daripada persentuhan dengan yang tidak di kenal kata Ellias Canetti.
Tindes Art Sebagai Pengalaman Seni (Kebutuhan, Permintaan, dan Keinginan)
Telah dibahas sebelumnya bahwa seni sangat terkait erat dengan pengalaman hidup manusia. Bagaimana manusia berinteraksi dengan alam lingkungannya, termasuk terhadap benda seni buatan manusia itu sendiri. Berbekal pengalaman yang mengusik emosi, indera dan alam lingkungan sekitar. Sebuah pengalaman berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Jika ada siang pasti ada malam, jika ada senang pasti ada sedih, dan jika ada awal pasti ada akhirnya. Setiap pengalaman selalu memunculkan sesuatu yang unik, tak biasa, dan bahkan tak terlupakan, ia mendiami alam bawah sadar manusia. Dalam ilmu seni pengalaman seseorang bersentuhan dengan benda seni dinamai pengalaman seni atau pengalaman estetik. Istilah serupa ini lazim diperbincangkan dalam persinggungannya dengan penikmat seni. Seperti pengalaman hidup sehari-hari, maka pengalaman seni merupakan suatu pengalaman utuh yang selalu berkelindan perasaan, pikiran, penderitaan, dan berbagai macam intuisi manusia. Namun pengalaman seni terjadi dalam fase-fase pengalaman khusus atau tertentu yang terkadang tidak sama dengan pengalaman sehari-hari. Selain dari pada pengalaman seni, tersemat juga pengalaman artistik yang beranjak dari pengalaman estetik sebagai dasar sebuah terciptanya karya seni. Pengalaman estetik dalam hal ini masih bersifat pasif jika tidak diikuti oleh proses kegiatan produksi. Sedangkan pengalaman artistik memberi sebuah penggambaran tentang mekanisme kerja penciptaan karya seni yang penuh daya kreativitas tanpa batas dengan sungguh-sungguh serta melibatkan pengalaman “terunik” yang pernah seniman hadapi.
Seni adalah “kebebasan” bagi sebagian kalangan seni, artinya dalam seni tidak ada suatu apapun yang dapat mendikte seniman dan penikmatnya, sebagaimana seorang perupa yang membuat karya, ia berupaya mewujudkan apa yang dirasakan dan pikirkan. Perkara makna atau penilaian penikmat, itu terserah kepada penikmatnya. Apa yang hendak disampaikan oleh perupa boleh jadi berbeda dengan penangkapan penikmat seni dan hal itu adalah sah. Asalkan perbedaan pandangan itu bertolak dari fakta karya seni itu sendiri. Bukankah dalam karya seni memang bukan seperti sebuah ilmu pengetahuan yang harus jelas batas dan muatan/isi pengertiannya? Sebuah karya seni disebut seni apabila ia mampu memberikan rangsangan dan daya hidup atau daya cipta bagi penikmatnya. Karena seni memiliki keindahan yang dapat menggugah jiwa manusia. Menurut wejangan Ki Hajar Dewantara bahwa seni merupakan hasil dari keindahan yang dapat menggerakkan perasaan seseorang tentang keindahan bagi yang melihat. Seniman dan penikmat berdialektika melalui karya seni secara dinamis, dalam hal ini seniman menciptakan sebuah karya seturut pengalaman yang ia alami, sedangkan penikmat menghayati karya seni melalui penginderaanya yang dapat menggerakan kandungan syaraf pikiran dan perasaannya. 
Pada akhirnya, sebuah proses terciptanya karya seni selalu kembali kepada penikmat dan penerima seni. Karena banyak diantara para seniman yang mewarnai dunia kesenian di Indonesia mustahil secara holistik[4] mampu melingkupi selera penikmat seni. Bagi penikmat musik dangdut tentu akan menilai musik clasik adalah musik yang membosankan, atau bahkan tidak bermakna apapun, begitu pula sebaliknya. Yang ingin hendak saya sampaikan adalah bahwa tidak semua orang selalu menyukai dan menerima sebuah karya seni yang dinilai bagus. Permasalahan bukan berada pada sebuah pemahaman aliran seninya, akan tetapi terdapat pada selera seni masing-masing orang. Terkadang perkara selera ini dapat menjerumuskan seseorang pada kesan “fanatik”. Masalah selera tidak dapat diperdebatkan. Karena baik seniman, penanggap seni, maupun penikmat seni mempunyai selera masing-masing. Jika berpijak pada kontek seni sebagai pengalaman, perbedaan cara pandang diantara seniman dan penikmat seni apabila dihadapkan pada karya seni yang dianggap mewakili apresiasi seni tinggi atau atas jika boleh meminjam klasifikasi yang diungkapkan oleh Sanento Yuliman (seni atas dan seni bawah) pun seharusnya juga mau mengambil dari pengalaman seni yang lain (yang dianggap bawah)
Berpijak pada paparan diatas, Tindes Art sebagai “anak yang baru saja lahir kembali” dari rahim seni grafis mempunyai kriteria-kriteria yang dimaui atau disebut sebagai seni. Dimana dalam proses kemunculannya Tindes Art juga melibatkan pengalaman seni, pengalaman estetik, dan pengalaman artistik. Dalam teori pembentukan subjek, Lacan mengungkapkan bahwa setiap manusia adalah subjek yang (dungu) tidak memiliki pengetahuan apa-apa sebelum ia mendapatkan pengetahuan dari luar dirinya. Artinya manusia tidak mungkin memiliki sebuah pengetahuan tanpa informasi-informasi yang tersampaikan dari luar untuk dirinya, begitu pula dalam proses Tindes Art, mustahil bagi Tindes Art menjadi sebuah proses penciptaan sebuah karya tanpa melihat, mendengar, merasakan sesuatu yang berada di luar dirinya sebagai sumber inspirasi utama yaitu seni grafis. Dalam kajian psikoanalisis seseorang tidak akan berhasil membentuk dirinya sendiri tanpa pengaruh-pengaruh dari luar atau Yang Lain, sedangkan pengaruh-pengaruh dari luar akan kembali di produksi dalam tubuh sedemikian rupa kemudian direpresentasikan kembali dalam bentuk karya seni. Tindes Art adalah subjek yang dibentuk. Ia dibentuk dari keinginan pengalaman seni, pengalaman estetik, dan pengalaman artistik. Seperti itu pula mekanisme terbentuknya Tindes Art, apabila kita mendudukan posisi Tindes Art sebagai subjek dalam hal ini. Jika diasosiasikan seturut teori Lacan terkait kebutuhan, permintaan, dan keinginan. Tindes Art sebagai anak yang baru lahir dari Rahim seni grafis pun memiliki unsur-unsur kebutuhan, permintaan, dan keinginan. Kebutuhan dalam kontek Tindes Art adalah kebutuhan akan material, sebab ia harus ada sebagai media utama. Kertas dan pensil tidak mungkin tidak akan ada dalam proses pembuatan karya ala Tindes Art, kemudian apa yang hendak diminta oleh Tindes Art? Objek permintaan Tindes Art adalah objek-objek yang berserakan diluar dirinya, yang saya maksudkan adalah objek atas pengakuan, keinginan, dan penikmatan[5]. Pengakuan atas cara yang digunakan Tindes Art sebagai bagian dari laku berkesenian yang terlingkup oleh seni grafis, sedangkan objek keinginan seperti apa yang telah diterangkan di atas bahwa keinginan adalah keinginan akan keinginan Yang Lain, dan akan perbedaan, adalah bagaimana Tindes Art terus-menerus berkelindan dengan keinginan dari Yang Lain, hal serupa itu tergambar dari pengalaman workshop yang pernah dilakukan, dimana seorang peserta workshop memberikan atau menambahkan pengetahuan supaya kertas yang menjadi material utama lebih memiliki ketahanan agar tidak mudah rusak dengan membubuhi material lain pada kertas yakni lem fox[6]. Lacan mengatakan bahwa keinginan adalah milik bahasa[7], dan seni adalah sebuah ungkapan “bahasa pengalaman”, maka seni merupakan milik bersama, bukan milik individu siapa pun, karena setiap keinginan individual merupakan bagian dari bahasa. Seperti itu pula mekanisme terbentuknya Tindes Art, apabila kita mendudukan posisi Tindes Art sebagai subjek yang dibentuk dalam hal ini.
Tindes Art sebagai Pendidikan Alternatif
                                                                                        


Seni ialah segala bentuk usaha dalam menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan dan membahagiakan.
(Schopenhauer)


  


 
 St. Sunardi mengatakan seni itu menyehatkan, kemudian pertanyaan yang dapat diajukan dalam kontek kesehatan adalah apa yang menyehatkan dari seni? Apabila seni dikatakan sebagai jalan pemaknaan hidup manusia, maka kita bisa ajukan tesis bahwa seni dapat menjadi salah satu media bagi penuntasan hasrat dalam diri manusia seturut mekanisme kerja seni. Seringkali kita menemukan kasus-kasus seperti “calon anggota legiselatif dari partai A menjadi gila akibat tidak terpilih, si anak B gantung diri karena keinginannya tidak dituruti oleh orang tua, siswa-siswi sekolah C kesurupan masal menghadap UAN dan lain sebagainya” ketika sebuah keinginan tidak dapat tertuntaskan atau terpendam dan tidak dapat keluar dari dalam diri akan dapat mengakibatkan hal-hal buruk bagi manusia. Pada posisi seperti ini, seni dapat memposisikan dirinya sebagai media terapi bagi seseorang. Karena seni mampu menjadi media bagi penuntasan hasrat manusia.
Kemudian, bagaimana seni dapat menduduki posisi sebagai media terapi bagi manusia, yakni dengan memberikan pendidikan seni sejak dini. Pada tataran anak-anak kegiatan-kegiatan pengenalan atas seni menjadi begitu sangat penting, bagaimana seorang manusia menentukan pilihan jalan hidup di masa depan sangat terkait erat dengan pengalaman-pengalaman yang mereka alami pada masa kanak-kanak ketika berada pada fase cermin. Memperkenalkan seni sejak dini adalah tugas siapa saja, bukan sekedar tanggung jawab seniman, lembaga pendidikan, sanggar, atau pemerintah..
Pendidikan seni di negeri ini sepertinya masih belum menjadi arus pemikiran bangsanya, Harapan bahwa seni sebagai garda terdepan bagi perbaikan bangsa rupa-rupanya masih seperti kata pepatah bagai si bungkuk merindukan bulan, hal tersebut tercermin dari dunia pendidikan kita hari ini bahwa mata pelajaran kesenian mendapatkan porsi tidak lebih dari satu atau dua jam dalam satu minggu pada SD, SLTP, SLTA. Oleh karenanya gerak-gerik laku berkesenian yang beroperasi di ruang-ruang non formal sangat dibutuhkan untuk mengakomodir minimnya pendidikan seni melalui ruang formal. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membuka ruang-ruang workshop ditengah-tengah masyarakat.
Sebagaimana laku berkesenian yang telah dilakukan oleh seni lainya yakni berupa workshop Tindes art pun melakukan hal yang sama. Seperti yang nampak pada beberapa gambar di atas, kita dapat melihat betapa antusiasnya anak-anak mengikuti workshop[8] ini, kedekataan anak-anak dengan material dasar kertas dan pensil yang digunakan dengan cara berbeda menjadikan mereka mengalami situasi apa yang disebut oleh Lacan sebagai peristiwa histeris.
Sebagai pendidikian, seni selalu melibatkan sebuah nilai, bukan bentuknya atau bendanya. Nilai adalah sesuatu yang bersifat subjektif, selaras masing-masing manusia yang menilainya. Nilai juga bisa dimaknai sebagai esensi, sebuah pondasi atau landasan dasar yang dapat masuk kedalam aspek intrinsik seni yakni struktur bentuk seni berserta variabel-variabel yang melingkupinya dan kedalam aspek ekstrinsiknya yang berupa norma agama, moral, psikologi, sosial, politik, dll. Aspek intrinsik selalu berkaitan dengan kebendaan atau bersifat material yang membentuk karya seni jika dalam tindes art material tersebut adalah kertas, pensil, bolpoint, tinta cetak, roll, dll. Selanjutnya penggunaan bahan material tadi dilandasi oleh gagasan, pikiran, perasaan seniman, hingga menjadi satu karya seni. Keduanya tidak mungkin terpisahkan.
Tindes Art pada kedua aspek tadi memiliki nilai pendidikan tersendiri dalam prosesnya. Kertas dan pensil sebagai material dasar adalah benda-benda yang mudah didapat dan telah diakrabi kita. Nilai pendidikan yang dapat diambil dari hal ini, seperti yang telah di jelaskan diatas bahwa hal-hal yang dekat dan telah diakrabi seperti kertas dan pensil dapat dipergunakan dalam kontek berbeda yang pada akhirnya bisa menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Artinya melalui media tersebut diharapkan supaya orang dapat terangsang untuk menggerakan daya kreativitas dirinya dalam melihat benda-benda yang dekat di kehidupan sehari-hari dengan cara pandang seni. Apabila hal itu terjadi, bukan hanya akan menghasilkan karya seni, tapi akan dapat memperkaya khazanah berkesenian.
Apalagi pada era globalisasi seperti sekarang ini. Dimana pelbagai nilai-nilai dari luar masuk begitu deras menggerus segala lini dan bidang yang ada dalam negeri. Dalam konteks ini seni diharapkan dapat menjadi garda terdepan sebagai filtering, dalam konteks ini golablisasi ujung-ujungnya membahas persoalan objek-objek keinginan yang hadir di tengah-tengah masyarakat dari segala penjuru dunia, disini peran seni dibutuhkan supaya memberi ruang dialektika antara nilai-nilai yang datang dari luar akibat globalisasi dengan nilai-nilai yang sudah menetap dalam masyarakat Indonesia.

 Tindes Art dalam terapan
“...Apalah artinya rendah-rendah kesenian bila terlepas dari derita lingkungan
Apalah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan....”
(Ws. Rendra)











Keterangan gambar Tindes Art dalam aplikasinya (Gambar diambil dari file Tindes Art Koskow)
1.       Sepatu karya Koskow
2.       Kaos karya salah satu peserta workshop
3.       Tas karya salah satu peserta workshop
4.       Souvenir karya Koskow untuk pernikan salah satu teman


Manusia sebagai mahluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat tidak akan lepas dari sintem nilai. Salah satu sistem nilai yang berkelindan ditengah-tengah masyarakat adalah sistem nilai dasar materi yang menjadi kebutuhan pokok dan mampu mendominasi nilai yang lain dalam kebudayaan di masyarakat. Bagi masyarakat materi adalah hal penting dalam kehidupan. Karena materi menjadi parameter utama yang harus dicapai untuk bertahan hidup. Oleh karenanya nilai seni masyarakat pada konteks ini bertendensi kepada nilai dasar ini. Seperti halnya dalam masyarakat terpelajar yang nilai dasarnya mengacu pada pengetahuan dan mengarah kepada kesempurnaan hidup, dan nilai seni juga berlandaskan acuan itu. Dalam hal ini seni akan selalu berdialektika dengan sistem nilai yang ada pada masyarakat secara dinamis. Tindes Art sebagai anak kandung” seni grafis pada terapannya berupaya membangun ruang dialektik melalui media-media yang dapat memiliki nilai guna, yang diaplikasikan pada berbagai media seperti tas, dompet, sepatu, kaos, buku, dll. Pula dapat dipoduksi secara masal, bukan hendak bermaksud menurunkan derajat seni, namun kita dapat melihat dari sudut pandang nilai kemanfaatan yang dihasilkan daripadanya.
The poverty of philosophy kritik Karl Max. Filsafat atau pemikiran apapun dianggap miskin kalau hanya berhenti untuk menjelaskan dan tidak unttuk mengubah. Oleh karena itu Tindes Art berupaya supaya tidak hanya berkutat pada lingkup dunia seni semata, namun ia juga berusaha memberikan nilai kemanfaatan yang lain bagi masyarakat yakni dari aspek ekonomis. Mengapa? Karena nilai ekonomis dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat agar mendekat pada dunia seni, apabila nilai dasar yang dominan pada masyarakat adalah persoalan materi. Dan hal itu bukan sesuatu yang salah bagi dunia seni. Supaya tidak terjebak oleh ungkapan Karl Max, bahwa masyarakat seni sudah sepatutnya memberikan pengetahuan, pengertian, pemahaman, hingga ke tataran praktik kepada masyarakat bahwa dengan belajar, dan mengetahui seni dapat menghidupi mereka. Bukan sekedar menghidupi jiwa, melainkan menghidupi kebutuhan fisik.
  
Kesimpulan
Setiap manusia memiliki keinginan pribadi yang berbeda-beda yang disebabkan oleh kebutuhan hidup serta pemaknaan terhadap hidup yang berbeda-beda. Hal ini sangat mempengaruhi cara pandang seseorang dalam memaknai dan menghayati sebuah karya seni yang sama. Pada satu karya yang sama seorang penikmat seni atau penerima seni ada yang menaruh perhatiannya pada gejala sosial, ada yang religius, ada yang menumpuhkan perhatiannya pada persoalan kejiwaan individu, ekonomi, dan lain sebagianya. Akan banyak ragam sudut pandang yang mencerminkan penikmatnya melalui sebuah karya seni. Bung Koskow sebagai seorang yang mengembangkan teknik tindes jika ditelisik dari paparan-paparan diatas rupa-rupanya ia berpijak pada bagaimana seni selalu memberikan pilihan-pilihan bagi penerimanya. Oleh karenanya pilihan yang sudah dihadirkan tindes art ditengah-tengah dunia seni akan selalu memberikan ruang bagi siapapun, dan dalam bentuk apapun, untuk memberikan gagasan-gagasan terkait pengembangan teknik ini. Harus diakui pula dengan umurnya yang belum genap sepanenan jagung teknik tindes ini belum cukup teruji jaman, namun setidak-tidaknya ia pernah mewarnai dunia seni.
Sebagai anak yang terlahir dari rahim Seni Grafis, tindes art tidak hanya berkelindan dengan pengalaman-pengalaman seni, estetik, maupun artistik, namun juga dapat memberikan nilai manfaat pada sisi yang lain pada terapannya, yakni ekonomis. Selain itu teknik ini dapat memberikan kesenangan tersendiri bagi seseorang dikala melakukan praktik, dikarenakan keakraban antara perupa dengan media kertas, pensil, dan bolpoin yang diterapkan pada hal yang berbeda.


Selamat Membaca.

Refrensi.
Silabus Kajian Budaya Jurusan IRB, Sanata  Dharma, Yogyakarta
Hill, Philip, Lacan For Beginners, Writer and readers Publishing, inc 1997, diterjemahkan oleh penerbit Kanisisus, Yogyakarta, tahun 2002.
Paper berjudul “Kajian Budaya dalam Pengembangan Ilmu-Ilmu Humaniora” oleh St. Sunardi pada pertemuan perkuliahan hari pertama.
Paper “Way Of Life Seni Cetak Grafis” oleh: AC. Tanama
Obrolan dengan Bung Koskow



[1] Staf pengajar Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa, Institute Seni Indonesia, Yogyakarta. Beliau yang mengembangkan cara kerja teknik Tindes Art ini, meski dalam sebuah kesempatan beliau sendiri mengakui bahwa teknik ini bukanlah sesuatu yang baru. Dan beliau menegaskan bahwa pengalaman dasar yang ia dapatkan untuk melakukan explorasi teknik dan media di dapat ketika diajar oleh Pak Tisna Sanjaya pada waktu mengenyam pendidikan di ITB.
[2]Hill, Philip (1997), LACAN FOR BEGINNERS, Writers and Readers Publhising, dalam terjemahan Penerbit Kanisius (2002) hal 88.
[3]Ibid, hal 89
[4] Suatu cara pandang yang menyatakan bahwa keseluruhan sebagai satu kesatuan lebih penting dari pada bagian-bagiannya. Jika kata holistik ini dipakai dalam rangka pelayanan kepada orang lain yang membutuhkan maka mempunyai arti layanan yang diberikan kepada sesama atau manusia secara utuh. Baik fisik, mental, sosial, dan spiritual mendapat perhatian yang seimbang.
[5]Saya hendak mengatakan Tindes Art dalam arti yang luas, tidak sebatas pada material yang digunakan semata, namun juga pada pelaku dalam hal ini siapa pun yang menggunakan teknik Tindes dalam proses pembuatan karya seni.
[6] Penambahan Lem Fox ini di ajukan oleh mahasiswa semester tiga ITS, ketika workshop Tondes Art dilakukan di sana.
[7] Ibid, hal 65
[8]  Sebagai catatan workshop Tindes Art setahun terakhir telah di gelar di berbagai tempat dan acara, beberapa di antaranya di FKY, PP. Nurul Ummah Kota Gede, Kampus ISI Yogyakarta, Kampus ITS Surabaya, DAGADU, di acara pernikahan, Biennale Equator di Radio Buku, di rumah Pak Koskow bersama anak-anak, di pameran buku bertajuk “Kampung Buku” di Kota Semarang, di Kota Salatiga, di Kota Ponorogo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog