I
Kenangan
adalah angin yang menyapu raga
namun tak
dapat direngkuh jiwa.
Ia menyentuh
setiap lekuk tubuh tanpa malu
bercumbu
dengan rindu.
Cahaya
memusar pada secangkir warna
yang lebih
menekankan keberanian.
II
Adakalanya
aku tercenung sendiri
lalu
terkelejat, dan kemudian...
temungkul
dalam keadaan sama.
Warna itu
menjadi kelabu
ia menyapu
setiap rindu
demi
beningnya kaca jiwaku.
III
Saat ku
rengkuh di ujung bibir
menyusuri
tenggorokanku yang hampa.
Mata memijar
binar
pikiran menerangi
sekujur badan
perasaan
menemu ruang pemberhentian.
IV
Ooo....
Candrawijaya
akankah kau
pergi dari sudut mata gelapku
dan membiarkanku
dalam pembaringan rapuh.
V
Biarlah
reruntuhan rindu menghujani badanku
ketika diam
hanya berarti kelam.
Lalu ku
tenggelamkan diriku
pada
keramaian yang menarikku menepi
ke dalam kesunyian
yang tak lagi sepi.
VI
Hidupku di
secangkir warna
yang
melimpahkan jutaan rasa;
seperti
sendiri di dalam kesendirian.
Padamkan api
diri lewat warna ini
agar tersemai
tunas baru
bernama hidup
kembali.
VII
Tatkala
percik nyali mengalir
sukma
pengembara mencuri sepi
lalu
meletakkannya di altar sunyi.
Dalam deru
harap berkalung doa
supaya kelam
menepi.
Saat itu
sedenyar
senyum terpancar lagi
yakni hayat
menemu alam ragawi.
VIII
Dawai
sungsang
jiwa tak kan
pernah mati
meski raga
terkubur suci.
Sebab sukma
masih menari nari
di atap ingatan
para pemuja
hingga
menerobos dinding jiwa.
Maka
selamilah hidup
lewat nada
nada yang kau benci.
Bernafaslah
dengan kepicikan diri
supaya cahaya
mau kembali.
IX
Apakah kita
ingat
kapan jiwa ini
terluka dan membenahi diri?
Pada nafas
keberapa semua itu terekam pasti
pada detik
yang mana ia menampakkan diri.
Lalu mengapa
kenangan kerap melukai
jika ia tak
mampu kita raih.
Bulan ini
memang bukan bulan sempurna
ia bertahta
separuh cahaya
di ujung
langit sadarku.
X
Pada
penghujung malam
terdengar
derik hewan mendendangkan langgam masa lalu
sahut-menyaut
dengan desir angin pembawa kabar langit.
Lalu
mendiamlah keduanya pada palung sadar
seolah
terusir dari kalam Ilahi.
Inikah bulan
yang tak
kumaui untuk mendiami?
XI
Pada ini aku tak berani berlari
kubiarkan semuanya mati.
Hingga nyawa beranjak pergi
di dalam secangkir kopi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar