Cari Blog Ini

Rabu, 15 Februari 2017

Balada Secangkir Kopi

I
Kenangan adalah angin yang menyapu raga 
namun tak dapat direngkuh jiwa.

Ia menyentuh setiap lekuk tubuh tanpa malu
bercumbu dengan rindu.

Cahaya memusar pada secangkir warna
yang lebih menekankan keberanian.

II
Adakalanya aku tercenung sendiri
lalu terkelejat, dan kemudian...
temungkul dalam keadaan sama.

Warna itu menjadi kelabu
ia menyapu setiap rindu
demi beningnya kaca jiwaku.

III
Saat ku rengkuh di ujung bibir
menyusuri tenggorokanku yang hampa.

Mata memijar binar
pikiran menerangi sekujur badan
perasaan menemu ruang pemberhentian.

IV
Ooo.... Candrawijaya
akankah kau pergi dari sudut mata gelapku
dan membiarkanku dalam pembaringan rapuh.

V
Biarlah reruntuhan rindu menghujani badanku
ketika diam hanya berarti kelam.

Lalu ku tenggelamkan diriku
pada keramaian yang menarikku menepi
ke dalam kesunyian yang tak lagi sepi.

VI
Hidupku di secangkir warna
yang melimpahkan jutaan rasa;
seperti sendiri di dalam kesendirian.

Padamkan api diri lewat warna ini
agar tersemai tunas baru
bernama hidup kembali.

VII
Tatkala percik nyali mengalir
sukma pengembara mencuri sepi
lalu meletakkannya di altar sunyi.

Dalam deru harap berkalung doa
supaya kelam menepi.

Saat itu
sedenyar senyum terpancar lagi
yakni hayat menemu alam ragawi.

VIII
Dawai sungsang
jiwa tak kan pernah mati
meski raga terkubur suci.

Sebab sukma masih menari nari
di atap ingatan para pemuja
hingga menerobos dinding jiwa.

Maka selamilah hidup
lewat nada nada yang kau benci.

Bernafaslah dengan kepicikan diri
supaya cahaya mau kembali.

IX
Apakah kita ingat
kapan jiwa ini terluka dan membenahi diri?

Pada nafas keberapa semua itu terekam pasti
pada detik yang mana ia menampakkan diri.

Lalu mengapa kenangan kerap melukai 
jika ia tak mampu kita raih.

Bulan ini memang bukan bulan sempurna 
ia bertahta separuh cahaya
di ujung langit sadarku.

X
Pada penghujung malam
terdengar derik hewan mendendangkan langgam masa lalu
sahut-menyaut dengan desir angin pembawa kabar langit.

Lalu mendiamlah keduanya pada palung sadar
seolah terusir dari kalam Ilahi.

Inikah bulan
yang tak kumaui untuk mendiami?

XI
Pada ini aku tak berani berlari
kubiarkan semuanya mati.

Hingga nyawa beranjak pergi
di dalam secangkir kopi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog