Cari Blog Ini

Jumat, 22 September 2017

Gus Dur dalam Cakrawala Seni

A.C. Andre Tanama
gangkecil.com


Karya: A.C. Andre Tanama, Judul: "Dari Kesunyian" 2015, Media: Cat Akrilik pada Kanvas, Ukuran: 90 x 135 cm

Berbicara ikhwal kerinduan terkadang menggiring saya pada sebuah kenangan. Dalam pengalaman masa lalu yang pernah saya alami, kenangan terhadap peristiwa, rasa kehidupan, perasaan yang meninggalkan jejak, semuanya mendorong kita untuk memunculkannya kembali. Dalam perkataan lain, ada semacam romantisme terhadap suatu peristiwa maupun seseorang, sosok, tokoh yang memberi inspirasi.

Gus Dur sebagai sosok multidimensional dan tokoh yang ‘low profile’ sekaligus, ia pun menjelma menjadi wajah kerinduan. Kerinduan bagi banyak orang, lintas agama dan lintas etnis. Kerinduan di sini memiliki objek kerinduan yang tak tunggal, maka Gus Dur merupakan wajah semua kerinduan (seperti tema pameran seni rupa dalam Muktamar NU ke-33 tahun 2015).

Gus Dur menjadi ikon kerinduan akan perdamaian, kerinduan adanya sosok pemimpin yang penuh toleransi, kerinduan terhadap gojek-gojekannya, kerinduan atas pemikiran dan karya-karyanya, kerinduan dengan ke-nyleneh-annya, dan sebagainya. Semua kerinduan tersebut ada dalam Gus Dur. Wajah Gus Dur di sini saya memaknainya bukanlah sebagai wajah dalam artian visual/ bersifat fisik permukaan semata. Karena wajah di sini lebih pada watak yang mengejawantah. Nyata. Sikap, pemikiran, dan karya Gus Dur yang kita semua tahu bahwa kesemuanya itu hadir, ada secara riil, tulus, dan tak dibuat-buat.

Kerinduan itu akan hadir tatkala ada jarak yang memisahkan. Kerinduan memang biasa terjadi pada saat seperti itu, ketika sesuatu terasa jauh atau sesuatu telah pergi meninggalkan kita. Merujuk seperti yang dituliskan oleh St Sunardi dalam katalog pameran: Gus Dur tampil sebagai sosok yang bisa dijadikan tempat berlindung bagi mereka yang merasa tidak punya apa-apa maupun siapa-siapa, sosok sahabat untuk berdialog, patner untuk melakukan tindakan-tindakan terobosan di Indonesia, dan teman untuk menertawakan diri sendiri.

Dalam penciptaan karya seni rupa, perupa dalam proses kreatifnya mencoba ‘ngrasaaken’ Gus Dur. Proses ini menjadi upaya meleburkan diri dalam pemikiran-pemikiran positif Gus Dur yang tentu saja membawa energi positif dalam berkarya. Dalam proses itulah, perupa menghadapi dunia imaji yang menantang dirinya untuk memproduksi pengetahuan via citra rupa yang estetik. Ketika perupa berhadapan dengan karya, romantisme akan pemikiran-pemikiran, watak yang mengejawantah dari Gus Dur dan intuisi dirinya (seolah sementara waktu) menyekat dirinya dengan realitas. Ia merasa Gus Dur tak pergi. Ia merasa ditemani Gus Dur. Dengan kata lain, karya yang diciptakan menjadi tombo kangen. Pun setelah ia sadar, proses berkarya selesai ia akan ngrasa kangen. Rasa kangen muncul lagi. Dan hal itu tidak mungkin ditinggalkan, karena yang diperlukan hanyalah ngupakara rasa.

Bagaimana rasa kangen itu mampu ditransfer menjadi energi positif untuk dapat berkarya secara kreatif. Bagaimana rasa kangen itu dirawat, dipelihara, untuk mampu mewarisi pemikiran positif Gus Dur dalam mengasihi sesama. Ngrasaaken, ngerasa kangen, dan ngupakara rasa terhadap/ terinspirasi Gus Dur ini lah yang bagi saya memotivasi setiap insan –siapapun, bahkan orang yang belum pernah bertatap muka secara langsung dengan Gus Dur sekalipun– mampu mencerap energi positif Gus Dur.

Yuk Ngrasa’ake, Ojo Ngrasani

Ngrasani diidentikkan dengan kebiasaan membicarakan kejelekan orang lain. Saat ngrasani, ada rasa menggebu-gebu untuk terus menggosipkan subjek yang dibicarakan. Tak ayal distorsi pembicaraanpun dapat terjadi. Kita jadi sering mencari-cari kekurangan orang lain agar dapat ngrasani. Pada akhirnya, ngrasani tersebut menjadi sangat tidak adil karena kita tidak ngrasa’ake (rasa yang dirasakan maupun rasa yang merasakan). Dalam proses berkarya pun demikian. Perupa mesti mampu ngrasa’ake apa yang dialami orang lain, menumbuhkan empati persaudaraan, dan menajamkan kepekaan rasa. Dan setelah itu. Ketika selanjutnya kita bisa ngupakara rasa, maka kepekaan dalam menjalani kehidupan akan terus hidup. Dengan kata lain, kita dihidupkan oleh kepekaan rasa itu, dan kepekaan rasa itulah akan dihidupkan pula dengan cara berbagi. Berbagi rasa melalui karya mungkin adalah salah satunya.

Gus Dur dalam Karya “Dari Kesunyian”

Proses penciptaan karya lukis ini tak tercipta begitu saja. Pergulatan pemikiran dan perenungan terhadap ide-ide yang berlarian kesana-kemari cukup menyita waktu lebih lama ketimbang proses melukisnya. Upaya lain yang perlu saya lakukan jika hal seperti itu terjadi adalah bertukar pikiran, konsultasi, dan ngobrol dengan istri serta kawan-kawan (Cak Udin dan Hadid). Saya tak segan-segan untuk belajar dan menerima masukan serta kritikan terhadap ide-ide yang diobrolkan. Hal ini tak akan mereduksi orisinalitas ide. Selain membicarakan ide, saya perlulah membaca. Lantas saya jadi teringat tulisan karya Nietzsche bagian “Perihal Keutamaan Memberi Karunia” dalam buku “Maka Berbicaralah Zarathustra” (bagian pertama, terjemahan Dami N. Toda, 2000). Bagian pertama itu ditulis di Rapallo (Italia) bulan Februari 1883. Demikian sebagian kutipannya:

Katakan pada aku, Saudara-saudaraku, apakah yang kita pandang sebagai sesuatu yang jelek dan terpaling jelek? Bukankah itu kemerosotan? Tentang kemerosotan selalu kita bicarakan, di mana selalu terdapat alpa semangat memberi karunia.

Ke atas arah jalan kita, melalui Seni menuju kepada Atas-seni. Tetapi sebuah ketakutan ngeri bagi kita ialah nyali yang melorot, yang berkata: “Semua Untuk Aku”.
Konsep memberi inilah kiranya pendasaran moral bagi kita semua terlebih di zaman yang khaos seperti saat ini. Ada etika sosial yang bersifat universal. Gus Dur kiranya berkeyakinan bahwa formulasi itu dapat menjadi pijakan pengambilan keputusan moral yang memandu kita untuk dapat hidup bersama dan saling berdampingan dalam kehidupan.

Melalui karya tersebut saya berupaya belajar dari kesunyian, dan tentu juga belajar sareh. Sareh itu dimaknai sebagai pemikiran dan sikap yang sabar dan tenang. Gus Dur sebagai seorang cendekiawan, pemikir, budayawan, filsuf, seniman jenius, serta sosok pemimpin yang dirindukan lantaran ketenangan dan kesabarannya. Gus Dur… masih hadir.

*) A.C. Andre Tanama, Penulis adalah dosen Seni Rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
https://gangkecil.com/gus-dur-dalam-cakrawala-seni/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog