Setahun terakhir ini geliat sastra terlihat gegap gempita. Panggung-panggung dan ruang diskusi sastra semakin berserakan dan hampir dapat kita temui di setiap sudut-sudut kota. Baik di kampus-kampus, toko-toko buku, art space, ruang-ruang komunitas, café-café, sampai ke balai desa warga dan lain sebagainya.
Maraknya gelaran sastra tentu saja memberi angin segar bagi kelangsungan dunia sastra. Tanpa sadar rasa-rasanya setiap orang mendadak menjadi pengarang, dan setiap ucapan yang keluar adalah syair. Kira-kira seperti ini saya menggambarkan situasi dunia sastra di Yogyakarta akhir-akhir ini. Tentu saja tak ada yang salah dengan hal ini. Sebagaimana kawan-kawan perupa mengenal istilah lebaran seni rupa, di sastra hal serupa ini bisa juga disebut lebaran sastra.
Pengarang bertebaran,
karangan berserakan dimana-mana. Tak ayal fenomena semacam ini menjadikan kota
diamnya menjadi taman kata-kata yang penuh bunga-bunga makna. Meski sebagian
kalangan mencibir dengan nyinyir, berkata; bahwa kuantitas pengarang dan
karangan yang beredar tak sebanding dengan kualitasnya. “Ah, ngak papa, toh fenomena
semacam ini tidak merugikan siapapun dan tidak merugikan apapun,” sahut saya buru-buru
memotong, saat duduk berdiskusi bersama lima pelaku dan penggemar dunia sastra
dua hari lalu di sebuah warung kopi bercahaya temaram di sudut kota Yogya. “Tidak
bisa seperti itu, bagaimanapun karya sastra nggak bisa dijadikan main-mainan.
Karena sastra adalah gema jiwa yang berdaya gugah menggerakkan peradaban
semesta,” pintal salah seorang pelaku sastra lain dengan nada tinggi, yang
kebetulan duduk tepat di hadapanku, memprotes dengan ketus. “Siapa yang membuat
mainan dan apa yang dipermainkan?” tanyaku buru-buru memotong. “Iya, memangnya
sastra milik nenek moyang sastrawan? Timpal salah satu kawan yang duduk
disamping kiriku menyahut.
Terkadang saya merasa
aneh jika ada orang yang merasa dirinya paling berhak menjadi “polisi” sastra.
Seperti polisi yang berjaga di perempatan jalan setiap waktu sambil membawa
senjata di pinggang, dengan sempritan menyungging di ujung bibir kering dan mengatur
lalu lintas sastra. Kemudian dengan mata elang berdiri tegak dan bersiap memberi
surat tilang pada pengendara sastra yang dia anggap melanggar lalu lintas. Padahal
kita sama-sama tahu dan sudah menjadi rahasia umum bahwa negosiasi jalanan bisa
diselesaikan dijalanan. Sesama orang jalanan dilarang saling menilang, ups. Kita
andaikan saja hukum seperti ini berlaku atau diberlakukan. Pertanyaan
berikutnya, parameter apakah yang akan digunakan para “polisi” sastra untuk
menilai para pelanggar “lalu lintas” sastra? Lantas siapa yang berhak menjadi “polisi”
sastra? Apakah polisi sastra itu serupa dengan Paus sastra yang disandang oleh
HB Jassin?
Jauh-jauh hari silam
Solzhenitsyn berkelakar bahwa seorang pengarang sastra bisa menjadi semacam
pemerintahan tandingan lewat karangan yang ia lahirkan. Tetapi bukankah hal ini
memperumit dunia sastra jika ujug-ujug muncul pemerintahan sastra dalam dunia
sastra. Mungkinkah sematan presiden penyair Indonesia yang disandang Sutardji
Calzoum Bahri merupakan representasi dari pemerintahan dalam dunia sastra?
Kalaulah memang iya adanya, kapan pemilunya? dan adakah ia memiliki struktur
pemerintahan hingga ke akar rumput? Rasanya sulit bagi akal sehat kita untuk
mengaminkan.
Ada anggapan kalau
sastra “serius” diperuntukkan bagi kalangan intelektual, sedangkan sastra “pop”
untuk kelas menengah yang “kurang” intelek. Lantas dimanakah posisi sastra
“rakyat” yang cair? sekurang-kurangnya sastra rakyat memusara dalam tradisi
pantun, foklor, dan kesenian-kesenian tradisi yang masih hidup di tengah-tengah
masyarakat dengan cakupan dan keterbatasan masing-masing.
Kembali pada “polisi”
sastra. Secara cultural pengakuan atas karya sastra adalah ketika karya
tersebut dimuat di mass media, baik cetak dan elektronik. Bagi saya posisi
polisi sastra “sesungguhnya” adalah mass media. Apalagi di era saat ini. Karena
dia memiliki infrasrtuktur pendukung untuk menaikan sekaligus menjatuhkan
pengarang dan karanganya. Bukan kritikus sastra, ataupun kantong-kantong
sastra, apalagi sastrawan itu sendiri.
Tetapi perlu kita
ingat jika karya-karya yang dimuat di mass media selalu bergantung pada
keteraturan tema yang sudah ditentukan media massa. Walaupun pada saat yang
sama, akibat dari adanya keteraturan tema ini, seorang pengarang terlatih untuk
memeras pikiran demi mendapatkan ide cerita yang menarik tanpa kehilangan
kedalaman-kedalaman yang sekaligus seiring dengan kemauan mass media. Apakah
pola semacam ini adalah sebuah kesalahan? Tentu saja tidak serta merta kita
bisa menjustifikasi bahwa pola semacam ini merupakan sesuatu yang salah. Karena
bagaimanapun kurangnya perhatian pemerintah terhadap dunia sastra bisa sedikit
dipenuhi oleh mass media. Terlebih yang
fokus pada tumbuh kembang dan tumbangnya dunia sastra. Yang menjadi persoalan
adalah, jika karya sastra yang termuat di media massa dijadikan satu-satunya patokan
kebenaran dalam menilai kualitas sastra. karena setiap pengarang berangkat dari
jaya jelajah imajinasinya masing-masing dengan keunikan dan taste berbeda-beda.
Bisa jadi sebuah karya yang tak disukai oleh beberapa kalangan, di gandrungi dikalangan
lain.
Dengan demikian saya
condong dengan kredo Harry Aveling bahwa kita adalah warga dunia, maka setiap
pengarang yang melahirkan karya sastra secara otomatis adalah karya yang
mendunia. Dalam pada ini, setiap orang berhak menjadi pengarang dan pada
gilirannya pengarang harus ikhlas menyerahkan anak ruhaninya tersebut menempuh
jalan takdirnya sendiri. Akankah ia berumur panjang dan abadi ataukah sebentar
lahir lalu tergolek mati.
Kopi Hitam
Yogyakarta, Sewonderland, 16 Ramadhan, 2017.
Cak Udin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar