Cari Blog Ini

Sabtu, 23 September 2017

Membaca Kerinduan, Mendengar Harapan Lewat Pintu Kenangan



/1/
Seringkali dalam hidup kita menemukan sosok diri kita dalam suatu peristiwa atau kejadian tertentu. Bahkan terkadang pada titik-titik dan tataran-tataran tertentu kita kerap merasa asing terhadap diri kita sendiri. Merasa asing melihat orang lain. Dan merasa asing di tengah-tengah lingkungan sekitar. Kesemuanya itu merupakan dinamika kehidupan yang melingkupi diri kita. Kita adalah cermin bagi orang lain. Orang lain adalah cermin bagi kita. Bahkan kita adalah cermin bagi diri kita masing-masing. 


Sebuah ungkapan mengatakan bahwa; “Cermin tidak pernah berbohong”, tentu saja hal ini benar adanya, tak mungkin cermin berdusta. Cermin menampilkan apa adanya tanpa mengubah suatu apapun. Pengalaman hidup dan dunia adalah cermin bagi kehidupan manusia. Dimana setiap mozaik-mozaik yang tercecer dari keduanya memberikan pengaruh bagi laku kehidupan manusia. Tanpa pengalaman hidup dan keberadaan dunia yang menjadi cermin bagi kehidupan manusia. Manusia akan kesulitan menempatkan dirinya pada medan kehidupan dunia ini. Manusia dapat menyadari keberadaan dirinya hanya dengan berinteraksi dengan dunia di luar dirinya, dari padanya manusia bisa menemukan dirinya yang sesungguhnya atau justru tersesat dikepandiran yang tak ia sadari. Beragam cara dapat dilakukan untuk mewadahi pengalaman hidup manusia, salah satu cara yang mudah diakses oleh siapa saja, dan memiliki dimensi berlapis-lapis bagi manusia untuk merekam sekaligus membagi pengalaman hidupnya adalah lewat Bahasa. Dengan bahasa sebuah pencarian diri dapat dimulai. Segala keluh kesah dapat dimaknai. Aneka ragam peristiwa yang dialami dapat dipahami, meski tak kunjung purna untuk diraih. Tapi setidaknya, kita dapat mengetahui bahwa kita berpijak pada pusara jaman yang seperti apa. Sehingga kita dapat menentukan sikap dalam melangka.

Pengalaman adalah cermin diri. Segala pengalaman hidup yang terekam lewat inderawi selalu mengalir melewati hulu pikir dan kemudian mengendap ke hilir hati. Endapan-endapan itu harus dimuntahkan supaya kita menemu ungkapan “di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Hati, dalam bahasa arab dikenal dengan qalb yang berarti, bolak-balik, tak tetap. Selalu berubah-ubah seturut ruang, waktu, dan peristiwa yang sedang terjadi. Hati bagai cermin kata Imam Ghazali, jika hati sering dibersihkan maka jernihlah dia. Hati yang jernih akan memancar lewat laku kehidupan kita sehari-hari yang dapat migunaning tumraping liyan.
/2/
Menulis diri adalah menulis pengalaman yang dialami, karena dalam kandungan saraf otak dan lubuk hati, segala yang ditulis oleh penulis merupakan bagian dan berasal dari diri si penulis itu sendiri. Pengalaman diri menjadi bank data, gudang bahan karangan sekaligus inspirasi terbesar bagi penulis untuk memasuki lorong-lorong kesunyian bahasa yang penuh misteri, senda gurau, kecemasan, kegelisahan, ketakutan, doa serta harapan. Kemudian menghamparkannya melalui permainan bahasa yang dimaui pengarang lewat majas, simbol, dan metafora. Bahasa menjadi pakaian yang membungkus pengalaman-pengalaman diri yang ingin disampaikan. Dalam pada ini seorang penulis menelanjangi dirinya sendiri di muka dunia. Seorang novelis dan eseis, Perancis, Marcel Proust mengatakan bahwa, “Semua bahan karya sastra tidak lain adalah kehidupan masa lalu saya.” Masa lalu bisa kita andaikan sebagai pengalaman hidup sedari masa kanak-kanak hingga kini, masa-masa ini telah memberikan pengalaman empirik yang agung. Masa yang menjadi pijakan awal bagi seorang manusia untuk menemu muara dirinya. Sebuah masa yang selalu bersemayam di sudut-sudut hati, menempel di jejalan kabel-kabel otak yang ruwet, dan selalu mengaliri aliran darah. Penulis menguak pengalaman masa lalu, memilah pengalaman masa kini, dan meneropong masa depan. Pada karya sastra, kenyataan atau pengalaman hidup berkelindan dengan imajinasi, nyawiji. Menubuh dalam satu bingkai yang kemudian membuat dunianya sendiri. Persetubuhan antara yang nyata dan yang imajinatif pada sebuah karya tulis selalu menggairahkan. Sebab imajinasi tanpa realita lucu. Sebaliknya realita tanpa imajinasi akan membusuk, kering. Sebagaimana Gabriel Garcia Marquez memberi pengakuan atas karyanya “Pujian terbesar untuk karya saya tertuju kepada imajinasi, padahal sebenarnya tidak satu pun baris dalam semua karya saya tidak berpijak pada kenyataan”. Keduanya menyatu dalam rajutan kata-kata. Karena penulis bukan melukiskan dunia seperti apa adanya, tetapi melukiskan dunia seperti seharusnya ada.
/3/
Koskow dalam karyanya Sudut-Sudut Hati yang saat ini sedang berada di tangan anda sepertinya sangat menyadari hal ini. Oleh karenanya kita akan mendapati ‘anak kandung’ dari persetubuhan realita dan imajinasi lewat bahasa kata dan rupa. “Anak kandung” itu mewujud pada bait-bait naratif, deskriptif dan inspiratif yang begitu aktif mempertanyakan segala hal, menginginkan berbagai hal dengan keterbatasan yang ia miliki, tapi ia tak mau berharap banyak dari semua itu. Dalam pada ini “Anak kandung” Koskow seakan ingin meramu pengalaman masa lalu dengan masa kini, dan masa depan untuk merengkuh dunia, lalu menarik-narik dunia pada nalar kehidupan yang menghidupi sekuat hati, meski tak mampu ia gapai seutuhnya, tapi ia tak lantas berdiam diri, namun terus-menerus mencari serpihan-serpihan daya hidup yang tercecer, kemudian memungutinya satu-persatu dan berusaha menyusunnya kembali lewat bahasa kata dan rupa, walau ia sadar hal ini tak kan mudah, bahkan ia seperti terbentur angkuhnya dinding jaman, terperosok ke dalam lembah kesepian, terperangkap ke dalam jurang keraguan, dan terpinggirkan oleh arus deras kemauan para kerumunan, akan tetapi ia terus menggali tanpa henti. Melalui barisan bahasa kata dan rupa, Koskow dipaksa dan atau terpaksa meleburkan diri ke dalam kejumudan jaman. Oleh karenanya, aroma sesal dan bau anyir keterasingan, hamparan doa, serta pengharapan diri terhadap lika-liku jaman serasa menjulang tinggi dan menggemuruh dari balik jerit jiwa meronta atas apa yang pernah ia alami, berlingkup dimensi-dimensi keadaan yang tak ia maui terasa sangat menyengat dalam karya Sudut-Sudut Hati ini, Koskow hanya “….perlu mencoba untuk mengambil dan menggunakannya”, kemudian menyecap dirinya sendiri, lalu menempatkan dirinya sendiri sebagai subjek sekaligus objek pada medan bahasa untuk bangun dari dipan kesakitan yang telah lama membuatnya “….. tertidur sejak berpuluh tahun lalu, tertidur dalam kesakitannya yang teramat panjang, kesakitan yang meninggalkan luka-luka di dalam dan dihantar bersama dingin malam,…”.
/4/
Selain daripada itu, dalam buku yang sedang anda genggam ini, kekuatan dari sebuah perjumpaan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan sekitar, manusia dengan sebuah peristiwa sangat kental terasa. Diam-diam Koskow tak mempercayai sebuah ‘keterpisahan’ dalam dan dari setiap perjumpaan. Meski jasad terpisah oleh ruang dan waktu, namun pintu perjumpaan akan selalu ada, niscaya. “Pintu itu harus tetap ada, sekedar untuk ruang berjumpa dan mengajukan berbagai tanya. Itu saja sudah cukup baginya. Meski jawab terajukan setelahnya, ia ingin menundanya, dan terus berbagi tanya, sebagai suatu cara agar pintu senantiasa dibuka”. Koskow memilih metafora pintu sebagai media bagi dirinya sendiri untuk merawat setiap perjumpaan. Saya mengandai, jika pintu ini adalah pintu kenang dan rasa, “telah kusimpan kepergianmu yang kututup bersama ketuk pintu,” karena kenangan dan rasa pada sebuah perjumpaan musti abadi, ia tak kan musnah meski menjadi abu, karena hanya melalui pintu kenangan dan rasalah perjumpaan-perjumpaan berikutnya bisa diupayakan kembali, ia seperti putaran roda yang akan kembali menyentuh tempat yang pernah ia lalui, pintu kenangan dan rasa tak bisa dimatikan, sebab pintu ini seperti sang waktu yang terus menemani, bahkan tak jarang turut menginterupsi, mengamini, atau menyoal ulang setiap pengalaman yang diperjalankan lewat bahasa. Koskow melukiskan kesemuanya ini lewat bait yang liris “Setiap kali tertawa, kerap kepalaku membentur langit-langit mulutku sendiri”, ia luruh dalam bait-bait, kemudian melemparkan diri ke medan tafsir yang menempatkannya pada sebuah pesimpangan kenang dan rasa yang tak sanggup ia pahami dengan purna.  
Pintu kenangan dan rasa dalam Sudut-Sudut Hati, semacam gerbang pembuka bagi Koskow untuk meluapkan riak-riak hati yang ia rasa sedari kecil, masa kini, hingga mengharap kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Dari pada ini kita disuguhi berbagai aneka macam peristiwa yang bisa membuat kita mengrenyitkan dahi, berpikir, diam tercenung, merenung, lalu tersenyum kecut dan kemudian mengajak kita bersenda gurau dengan diri sendiri. Pula lewat bahasa kata dan rupa, Sudut-Sudut Hati mengajak kita menelusuri sebuah jejak hidup penuh tanya pada ambang batas keraguan dan keyakinan . Darinya kita tak hanya menemu sebuah perjalanan hidup seorang perasa, tapi juga dipertemukan oleh aneka ragam lelingkupan yang bersentuhan dengan kesadaran Koskow sebagai penulis. Pada bait-bait “Otot Bangunan” misal, bagaimana Koskow memotret suatu keadaan dengan melodi ngilu bernada sendu yang mengantarkan kita memasuki dimensi-dimensi kesunyian dari bebarisan bangunan tua di sebuah kota yang terabaikan di tepian jaman. Bangunan-bangunan itu sekadar menjadi etalase lifestyle kekinian dan sesampiran nasib kaum papa “…yang berani menantang kemiskinan”. Pula dari padanya, kita dihamparkan ke sebuah ‘padang’ kekeringan hati orang-orang yang berkunjung ke bangunan penuh kisah itu. “…..Otot-otot bangunan bak mental orang-orang yang dibetonkan dan dipertontonkan, dan jika kita berada di hadapannya mental kita seperti telah dikalahkan,….”  Kata otot yang berpretensi pada hal-hal yang bersifat fisiologis ini ia sandingkan dengan kata ‘bangunan’ yang memiliki dimensi psikis, seperti, bangunan pendidikan, bangunan seni-budaya, peradaban, dll. Saya menduga jerit sesal ini merupakan lukisan timpang dari kehidupan nyata di sebuah kota yang ingin selalu memakan ‘anak kandungnya’ sendiri, mencerabut masyarakat dari azaz kotanya, hingga mengasingkan masyarakat dari dirinya dan kotanya sendiri. Kota yang seharusnya memberikan kenyamanan bagi masyarakatnya seakan jauh laut dari pantainya. Kota dalam Sudut-Sudut Hati  adalah “….kota yang amat lekas bergegas meninggalkan banyak persoalan, segala sesuatunya serasa berkejaran, bercepatan, entah waktu di jalanan, di sekolah, di cara pembayaran, bahkan di setiap makanan dan minuman setiap insan kota,…”. Wajah kota serupa ini adalah wajah kota kebanyakan di negeri ini. Tak ada kota yang kedap dari ketimpangan-ketimpangan, kota telah kehilangan marwahnya.
Menghadapi riuh redamnya diri dan dunia yang melingkupinya, Koskow mengharap pada dirinya dan orang-orang yang bersentuhan dengannya agar dapat menyimpan bulan yang selalu benderang di malam gelap, “….agar dapat mereka kunjungi sewaktu-waktu…” supaya hidup kembali nyata dan fitrah hidup kembali menyala. Meski ia sadar bahwa dirinya sendiri ragu akan dapat merengkuh dan membawa pulang bulan ini, tapi api harap tak pernah padam sebab, “….bulan semakin menjauh, sinarnya nampak semakin benderang….”
/5/
Selepas menapaki jejakan bait-bait perih, pada titik tengah hingga penghujung buku ini, kita dibisiki kehidupan masa kanak-kanak yang penuh keriangan, dibumbui kenakalan-kenakalan kecil, dihiasi pertanyaan-pertanyaan menggelitik berkelindan kepolosaan. Dimana segala sesuatunya berjalan lebih alami, apa adanya, tanpa rekayasa. Persis dari hal ini, kita mendapati gambaran, bahwa kehidupan masa kanak-kanak merupakan pilar bagi setiap orang untuk menapaki jalan hidupnya di masa depan. Koskow tuangkan kisah demi kisah begitu apik penuh goda, hingga bisa membuat kita merindu masa-masa itu, masa yang seakan terlepas dari beban jaman. Masa yang merdeka. Masa yang tak akan pernah kembali itu, tanpa sungkan ia gelontorkan berlembar-lembar. Sepertinya Koskow hendak mengatakan “jika kedamaian dalam hidup berada di dalam kehidupan masa kanak-kanak”, kemudian melewati pintu kenangan dan rasa ia seakan bertanya, “ke manakah masa-masa itu ketika usia memaksa kita meninggalkannya?”
Tidak dipungkiri bahwa waktu terus berjalan maju melibas apapun yang ia lewati, jaman berubah, tata warna kehidupan berganti diikuti oleh segala mozaik-mozaik yang mengiringinya. Tapi kenangan dan rasa yang dilahirkan dari setiap perjumpaan tak kan pernah musnah. Di sinilah Sudut-Sudut Hati karya Koskow menempati ruang diamnya.
Demikianlah, serpihan-serpihan dari bait-bait bahasa yang saya tangkap, rasa dan tuangkan dari buku ini. Sekiranya masih banyak kekurangan dari pemaparan ini, saya haturkan permohonan maaf sebesar-besarnya kepada penulis dan para pembaca budiman.

Selamat membaca.

Cak Udin
Sewon, Yogyakarta, 15 November 2017
Salam Kopi Hitam






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog