/1/
Seringkali dalam
hidup kita menemukan sosok diri kita dalam suatu peristiwa atau kejadian
tertentu. Bahkan terkadang pada titik-titik dan tataran-tataran tertentu kita kerap merasa asing terhadap diri kita
sendiri. Merasa asing
melihat orang lain. Dan
merasa asing di tengah-tengah lingkungan sekitar. Kesemuanya itu merupakan dinamika kehidupan yang melingkupi diri kita. Kita adalah cermin bagi
orang lain. Orang lain adalah
cermin bagi kita. Bahkan
kita adalah cermin bagi diri kita masing-masing.
Sebuah ungkapan mengatakan bahwa; “Cermin tidak pernah berbohong”, tentu saja hal ini benar adanya, tak mungkin cermin berdusta. Cermin menampilkan apa adanya tanpa mengubah suatu apapun. Pengalaman hidup dan dunia adalah cermin bagi kehidupan manusia. Dimana setiap mozaik-mozaik yang tercecer dari keduanya memberikan pengaruh bagi laku kehidupan manusia. Tanpa pengalaman hidup dan keberadaan dunia yang menjadi cermin bagi kehidupan manusia. Manusia akan kesulitan menempatkan dirinya pada medan kehidupan dunia ini. Manusia dapat menyadari keberadaan dirinya hanya dengan berinteraksi dengan dunia di luar dirinya, dari padanya manusia bisa menemukan dirinya yang sesungguhnya atau justru tersesat dikepandiran yang tak ia sadari. Beragam cara dapat dilakukan untuk mewadahi pengalaman hidup manusia, salah satu cara yang mudah diakses oleh siapa saja, dan memiliki dimensi berlapis-lapis bagi manusia untuk merekam sekaligus membagi pengalaman hidupnya adalah lewat Bahasa. Dengan bahasa sebuah pencarian diri dapat dimulai. Segala keluh kesah dapat dimaknai. Aneka ragam peristiwa yang dialami dapat dipahami, meski tak kunjung purna untuk diraih. Tapi setidaknya, kita dapat mengetahui bahwa kita berpijak pada pusara jaman yang seperti apa. Sehingga kita dapat menentukan sikap dalam melangka.
Sebuah ungkapan mengatakan bahwa; “Cermin tidak pernah berbohong”, tentu saja hal ini benar adanya, tak mungkin cermin berdusta. Cermin menampilkan apa adanya tanpa mengubah suatu apapun. Pengalaman hidup dan dunia adalah cermin bagi kehidupan manusia. Dimana setiap mozaik-mozaik yang tercecer dari keduanya memberikan pengaruh bagi laku kehidupan manusia. Tanpa pengalaman hidup dan keberadaan dunia yang menjadi cermin bagi kehidupan manusia. Manusia akan kesulitan menempatkan dirinya pada medan kehidupan dunia ini. Manusia dapat menyadari keberadaan dirinya hanya dengan berinteraksi dengan dunia di luar dirinya, dari padanya manusia bisa menemukan dirinya yang sesungguhnya atau justru tersesat dikepandiran yang tak ia sadari. Beragam cara dapat dilakukan untuk mewadahi pengalaman hidup manusia, salah satu cara yang mudah diakses oleh siapa saja, dan memiliki dimensi berlapis-lapis bagi manusia untuk merekam sekaligus membagi pengalaman hidupnya adalah lewat Bahasa. Dengan bahasa sebuah pencarian diri dapat dimulai. Segala keluh kesah dapat dimaknai. Aneka ragam peristiwa yang dialami dapat dipahami, meski tak kunjung purna untuk diraih. Tapi setidaknya, kita dapat mengetahui bahwa kita berpijak pada pusara jaman yang seperti apa. Sehingga kita dapat menentukan sikap dalam melangka.
Pengalaman
adalah cermin diri. Segala
pengalaman hidup yang terekam lewat inderawi selalu mengalir melewati hulu
pikir dan kemudian mengendap ke hilir hati. Endapan-endapan itu harus
dimuntahkan supaya kita menemu ungkapan “di
dalam tubuh yang sehat
terdapat jiwa yang kuat”. Hati, dalam bahasa
arab dikenal dengan qalb yang berarti,
bolak-balik, tak tetap. Selalu
berubah-ubah seturut ruang, waktu, dan peristiwa
yang sedang terjadi. Hati bagai cermin kata Imam Ghazali, jika hati sering
dibersihkan maka jernihlah dia. Hati yang jernih akan memancar lewat laku kehidupan kita sehari-hari yang dapat migunaning tumraping liyan.
/2/
Menulis diri
adalah menulis pengalaman yang dialami, karena dalam kandungan saraf otak dan lubuk
hati, segala yang ditulis oleh penulis merupakan bagian dan berasal dari diri
si penulis itu sendiri. Pengalaman diri menjadi bank data, gudang bahan
karangan sekaligus inspirasi terbesar bagi penulis untuk memasuki lorong-lorong
kesunyian bahasa yang penuh misteri, senda gurau, kecemasan, kegelisahan,
ketakutan, doa serta harapan. Kemudian
menghamparkannya melalui permainan bahasa yang dimaui pengarang lewat majas, simbol, dan metafora. Bahasa
menjadi pakaian yang membungkus pengalaman-pengalaman diri yang ingin
disampaikan. Dalam pada ini seorang penulis menelanjangi dirinya sendiri di
muka dunia. Seorang novelis dan eseis, Perancis, Marcel Proust mengatakan bahwa, “Semua bahan karya sastra tidak
lain adalah kehidupan masa lalu saya.” Masa lalu bisa kita andaikan sebagai pengalaman
hidup sedari masa kanak-kanak hingga kini, masa-masa ini telah memberikan
pengalaman empirik yang agung. Masa yang menjadi pijakan awal bagi seorang manusia untuk menemu muara dirinya. Sebuah
masa yang selalu bersemayam di sudut-sudut hati, menempel di jejalan
kabel-kabel otak yang ruwet, dan selalu mengaliri aliran darah. Penulis menguak
pengalaman masa lalu, memilah pengalaman masa kini, dan meneropong masa depan.
Pada karya sastra, kenyataan atau pengalaman hidup berkelindan dengan imajinasi,
nyawiji. Menubuh dalam satu bingkai yang kemudian membuat dunianya
sendiri. Persetubuhan antara yang nyata dan yang imajinatif pada sebuah karya tulis selalu menggairahkan. Sebab
imajinasi tanpa realita lucu. Sebaliknya
realita tanpa imajinasi akan membusuk, kering. Sebagaimana Gabriel Garcia Marquez memberi pengakuan atas
karyanya “Pujian terbesar untuk karya
saya tertuju kepada imajinasi, padahal sebenarnya tidak satu pun baris dalam
semua karya saya tidak berpijak pada kenyataan”. Keduanya menyatu dalam
rajutan kata-kata. Karena
penulis bukan melukiskan dunia seperti apa adanya, tetapi melukiskan dunia
seperti seharusnya ada.
/3/
Koskow dalam
karyanya Sudut-Sudut Hati yang saat
ini sedang berada di tangan anda sepertinya
sangat menyadari hal ini. Oleh karenanya kita akan mendapati ‘anak kandung’
dari persetubuhan realita dan imajinasi lewat bahasa kata dan rupa. “Anak
kandung” itu mewujud pada bait-bait naratif, deskriptif dan inspiratif yang
begitu aktif mempertanyakan segala hal, menginginkan berbagai hal dengan
keterbatasan yang ia miliki, tapi ia tak mau berharap banyak dari semua itu.
Dalam pada ini “Anak kandung” Koskow seakan ingin meramu pengalaman masa lalu
dengan masa kini, dan masa depan untuk merengkuh dunia, lalu menarik-narik
dunia pada nalar kehidupan yang menghidupi sekuat hati, meski tak mampu ia
gapai seutuhnya, tapi ia tak lantas berdiam diri, namun terus-menerus mencari
serpihan-serpihan daya hidup yang tercecer, kemudian memungutinya satu-persatu
dan berusaha menyusunnya kembali lewat bahasa kata dan rupa, walau ia sadar hal
ini tak kan mudah, bahkan ia seperti terbentur angkuhnya dinding jaman,
terperosok ke dalam lembah kesepian, terperangkap ke dalam jurang keraguan, dan
terpinggirkan oleh arus deras kemauan para kerumunan, akan tetapi ia terus
menggali tanpa henti. Melalui barisan bahasa kata dan rupa, Koskow dipaksa dan
atau terpaksa meleburkan diri ke dalam kejumudan jaman. Oleh karenanya, aroma
sesal dan bau anyir keterasingan, hamparan doa, serta pengharapan diri terhadap
lika-liku jaman serasa menjulang tinggi dan menggemuruh dari balik jerit jiwa
meronta atas apa yang pernah ia alami, berlingkup dimensi-dimensi keadaan yang
tak ia maui terasa sangat menyengat dalam karya Sudut-Sudut Hati ini, Koskow hanya “….perlu mencoba untuk mengambil dan menggunakannya”, kemudian
menyecap dirinya sendiri, lalu menempatkan dirinya sendiri sebagai subjek sekaligus
objek pada medan bahasa untuk bangun dari dipan kesakitan yang telah lama
membuatnya “….. tertidur sejak berpuluh
tahun lalu, tertidur dalam kesakitannya yang teramat panjang, kesakitan yang
meninggalkan luka-luka di dalam dan dihantar bersama dingin malam,…”.
/4/
Selain daripada
itu, dalam buku yang sedang anda genggam ini, kekuatan
dari sebuah perjumpaan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan
sekitar, manusia dengan sebuah peristiwa sangat kental terasa. Diam-diam Koskow
tak mempercayai sebuah ‘keterpisahan’ dalam dan dari setiap perjumpaan. Meski
jasad terpisah oleh ruang dan waktu, namun pintu perjumpaan akan selalu ada, niscaya.
“Pintu itu harus tetap ada, sekedar untuk
ruang berjumpa dan mengajukan berbagai tanya. Itu saja sudah cukup baginya.
Meski jawab terajukan setelahnya, ia ingin menundanya, dan terus berbagi tanya, sebagai suatu cara agar pintu senantiasa dibuka”. Koskow
memilih metafora pintu sebagai media bagi dirinya sendiri untuk merawat setiap
perjumpaan. Saya mengandai, jika pintu ini adalah pintu kenang dan rasa, “telah kusimpan kepergianmu yang kututup
bersama ketuk pintu,” karena kenangan dan rasa pada sebuah perjumpaan musti
abadi, ia tak kan musnah meski menjadi abu, karena hanya melalui pintu kenangan
dan rasalah perjumpaan-perjumpaan berikutnya bisa diupayakan kembali, ia
seperti putaran roda yang akan kembali menyentuh tempat yang pernah ia lalui,
pintu kenangan dan rasa tak bisa dimatikan, sebab pintu ini seperti sang waktu
yang terus menemani, bahkan tak jarang turut menginterupsi, mengamini, atau menyoal ulang setiap pengalaman yang
diperjalankan lewat bahasa. Koskow melukiskan kesemuanya ini lewat bait yang
liris “Setiap kali tertawa, kerap
kepalaku membentur langit-langit mulutku sendiri”, ia luruh dalam
bait-bait, kemudian melemparkan diri ke medan tafsir yang menempatkannya pada
sebuah pesimpangan kenang dan rasa yang tak sanggup ia pahami dengan purna.
Pintu kenangan
dan rasa dalam Sudut-Sudut Hati, semacam
gerbang pembuka bagi Koskow untuk meluapkan riak-riak hati yang ia rasa sedari
kecil, masa kini, hingga mengharap kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.
Dari pada ini kita disuguhi berbagai aneka macam peristiwa yang bisa membuat
kita mengrenyitkan dahi, berpikir, diam tercenung, merenung, lalu tersenyum
kecut dan kemudian mengajak kita bersenda gurau dengan diri sendiri. Pula lewat
bahasa kata dan rupa, Sudut-Sudut Hati
mengajak kita menelusuri sebuah jejak hidup penuh tanya pada ambang batas keraguan
dan keyakinan . Darinya kita tak hanya menemu sebuah perjalanan hidup seorang perasa,
tapi juga dipertemukan oleh aneka ragam lelingkupan yang bersentuhan dengan
kesadaran Koskow sebagai penulis. Pada bait-bait “Otot Bangunan” misal, bagaimana Koskow memotret suatu keadaan dengan
melodi ngilu bernada sendu yang mengantarkan kita memasuki dimensi-dimensi
kesunyian dari bebarisan bangunan tua di sebuah kota yang terabaikan di tepian jaman. Bangunan-bangunan itu sekadar menjadi etalase lifestyle kekinian dan sesampiran nasib
kaum papa “…yang berani menantang
kemiskinan”. Pula dari padanya, kita dihamparkan ke sebuah ‘padang’
kekeringan hati orang-orang yang berkunjung ke bangunan penuh kisah itu. “…..Otot-otot bangunan bak mental
orang-orang yang dibetonkan dan dipertontonkan, dan jika kita berada di hadapannya mental kita seperti telah dikalahkan,….” Kata otot yang berpretensi pada hal-hal yang
bersifat fisiologis ini ia sandingkan dengan kata ‘bangunan’ yang memiliki
dimensi psikis, seperti, bangunan pendidikan, bangunan seni-budaya, peradaban,
dll. Saya menduga jerit sesal ini merupakan lukisan timpang dari kehidupan nyata
di sebuah kota yang ingin selalu memakan ‘anak kandungnya’ sendiri, mencerabut
masyarakat dari azaz kotanya, hingga mengasingkan masyarakat dari dirinya dan kotanya
sendiri. Kota yang seharusnya memberikan kenyamanan bagi masyarakatnya seakan
jauh laut dari pantainya. Kota dalam Sudut-Sudut
Hati adalah “….kota yang amat lekas bergegas meninggalkan banyak persoalan, segala
sesuatunya serasa berkejaran, bercepatan, entah waktu di jalanan, di sekolah, di cara pembayaran, bahkan di setiap makanan dan
minuman setiap insan kota,…”. Wajah kota serupa ini adalah wajah kota kebanyakan di negeri
ini. Tak ada kota yang kedap dari ketimpangan-ketimpangan, kota telah
kehilangan marwahnya.
Menghadapi riuh
redamnya diri dan dunia yang melingkupinya, Koskow mengharap pada dirinya dan
orang-orang yang bersentuhan dengannya agar dapat menyimpan bulan yang selalu
benderang di malam gelap, “….agar dapat
mereka kunjungi sewaktu-waktu…” supaya hidup kembali nyata dan fitrah hidup
kembali menyala. Meski ia sadar bahwa dirinya sendiri ragu akan dapat merengkuh
dan membawa pulang bulan ini, tapi api harap tak pernah padam sebab, “….bulan semakin menjauh, sinarnya nampak
semakin benderang….”
/5/
Selepas menapaki
jejakan bait-bait perih, pada titik tengah hingga penghujung buku ini, kita
dibisiki kehidupan masa kanak-kanak yang penuh keriangan, dibumbui
kenakalan-kenakalan kecil, dihiasi pertanyaan-pertanyaan menggelitik
berkelindan kepolosaan. Dimana segala sesuatunya berjalan lebih alami, apa
adanya, tanpa rekayasa. Persis dari hal ini, kita mendapati gambaran, bahwa
kehidupan masa kanak-kanak merupakan pilar bagi setiap orang untuk menapaki
jalan hidupnya di masa depan. Koskow tuangkan kisah demi kisah begitu apik
penuh goda, hingga bisa membuat kita merindu masa-masa itu, masa yang seakan
terlepas dari beban jaman. Masa yang merdeka. Masa yang tak akan pernah kembali
itu, tanpa sungkan ia gelontorkan berlembar-lembar. Sepertinya Koskow hendak
mengatakan “jika kedamaian dalam hidup berada di dalam kehidupan masa
kanak-kanak”, kemudian melewati pintu kenangan dan rasa ia seakan bertanya, “ke manakah masa-masa itu ketika usia memaksa kita
meninggalkannya?”
Tidak dipungkiri
bahwa waktu terus berjalan maju melibas apapun yang ia lewati, jaman berubah,
tata warna kehidupan berganti diikuti oleh segala mozaik-mozaik yang
mengiringinya. Tapi kenangan dan rasa yang dilahirkan dari setiap perjumpaan
tak kan pernah musnah. Di sinilah Sudut-Sudut
Hati karya Koskow menempati ruang diamnya.
Demikianlah,
serpihan-serpihan dari bait-bait bahasa yang saya tangkap, rasa dan tuangkan
dari buku ini. Sekiranya masih banyak kekurangan dari pemaparan ini, saya
haturkan permohonan maaf sebesar-besarnya kepada penulis dan para pembaca
budiman.
Selamat membaca.
Cak Udin
Sewon, Yogyakarta, 15 November 2017
Salam Kopi Hitam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar