Judul Buku: Fotografi dan Masyarakat Kontemporer Di Yogyakarta
Fotografer: Sukri Ghazali
Penerbit: Sukrigrafis Press Yogyakarta
Cetakan pertama: januari, 2016
1/
Sukri Ghazali, saya mengenal dia beberapa tahun lalu, tepatnya kapan, saya lupa. Pemuda berperawakan kurus dengan rambut ikal menjuntai hampir menyentuh pantat ini memiliki tatap mata yang tajam. Cara bicaranya tegas, senyumnya khas, dan langkah kakinya tangkas. Tak sulit mengenali kawan satu ini. apalagi menemukan sosoknya. Main saja ke pasar sentir Brigharjo dan tunggu di lelapakan buku atau kamera bekas. Maka bisa dipastikan kita dapat menemukanya. Ia mungkin salah satu kawan saya yang lebih mencintai teh dibanding kopi. Oh…Sukri mengapa kau campakkan kopi demi teh? Tapi biarlah, setidaknya minuman hanyalah soal selera. Siapa menyukai apa. Pemuda kelahiran kota Bau-Bau, Buton Sulawesi Tenggara tiga puluh dua tahun silam ini rasa-rasanya tak bisa jauh-jauh dari aktivitas jeprat-jepret. Merekam apa saja dan dimana saja seakan jadi nafasnya. Maka kita harus hati-hati. jika tidak, kita akan jadi salah satu korban mata kameranya. Apalagi saat tingkah laku kita ia anggap memiliki makna untuk direkam dan kemudian disampaikan. Maka ia ta tak kan sungkan untuk segera menghunus “pedangnya” (kamera) dan bersegera menyergap tanpa ampun. Hampir-hampir tak ada objek yang selamat dari buruan mata kameranya, jika ia sudah berkehendak. Baik objek besar apalagi kecil. Semua bisa dipastikan akan tunduk, patuh, mengikuti narasinya. Selain ini, Sukri hobi membaca buku pula. Jika kita main ke kostnya, maka tumpukan-tumpukan buku yang ia miliki membuat kita serasa di dalam perpustakaan. Sukri, oh Sukri. Buat apa pula buku sebanyak itu kau beli? Mbok saya di bagi. Selera bacaannya lumayan berat. Seberat juntai rambutnya. “Dari buku saya mulai memotret”, kalau saya tak luput, bahwa kata-kata ini yang pernah ia lontarkan pada saya ketika duduk bersua. Dari buku Sukri menemukan taste fotografinya. Kira-kira seperti ini simpulan awal saya.
Lalu apakah yang sedang sukri narasikan lewat buku bertajuk “Fotografi dan Masyarakat Kontemporer Di Yogyakarta” apa yang ingin ia sampaikan? Keresahan apa yang ingin ia bagi? Setidaknya saya menangkap apa yang sedang ia narasikan adalah terkait kesadaran kritis terhadap realitas yang tengah melingkupi. Tepatnya, hilangnya kesadaran kritis akibat arus budaya massa. Budaya hasil ciptaan para ahli yang direkrut oleh pemodal. Cakupannya adalah konsumen pasif, partisipasi mereka sekedar berkutat pada membeli atau tidak membeli. Ia bersifat berulang, dekaden, permukaan, mendewakan kenikmatan remeh-temeh, yang meminggirkan nilai-nilai kedalaman, intelektualitas dan mengabaikan penghormatan atas ruang, waktu serta keseriusan. Hal serupa ini bertolak belakang dengan budaya masyarakat. Yakni sebuah budaya yang bersumber dari inspirasi dan aspirasi masyarakat kebanyakan, lahir dari bawah. Memiliki pranata sendiri. Budaya masyarakat adalah budaya masyarakat sendiri yang jauh dari budaya sang Tuan.
2/
Kritik atas budaya massa yang menggerus budaya masyarakat dan menghasilkan budaya masyarakat kontemporer adalah sekurang-kurangnya yang dapat saya cecap secara inderawi dari buku ini. Sebuah arus besar yang berhasil menggulung identitas dan kualitas sebagai manusia hingga ketepian tak berarti. Kemudian apa yang menyebabkan identitas dan kualitas manusia terpinggirkan? Tak lain adalah hadirnya realitas semu. Sebuah realitas hasil dari rekayasa budaya massa yang melahirkan masyarakat kontemporer. Dimana pada titik ini masyarakat tidak menyadari bahwa mereka sedang berada pada kondisi dan situasi yang mereka sendiri tak mampu memahaminya. Pola semacam ini dalam bahasa Filsuf kontemporer berdarah Perancis Jean Baudrillard disebut simulacra dan hyper-reality. Konsep tentang realitas. Ia menyebut simulacra adalah keadaan dimana realitas yang ada adalah realitas semu dan hyper-reality merupakan keadaan dimana realitas yang ada adalah buatan yang sebenarnya tak nyata namun kita menganggapnya nyata. Sedangkan pada titik nadir, masyarakat memahami realitas seperti oposisi biner; benar atau salah, baik atau buruk sampai pada level hitam atau putih. Tetapi pada sudut pandang lain, realitas lebih dari itu. Realitas dalam kehidupan justru menyediakan berbagai kemungkinan dan tak terjebak pada dua pilihan yang berseberangan. Pada giliranya ketaktahuan masyarakat terhadap realitas yang sedang mereka hadapi dan jalani tentu dapat mematikan kesadaran kritis dalam diri mereka. Hyper-realitiy bagai virus, ia sangat mudah memerangkap, membuai, memperalat hingga membutakan masyarakat dengan segala bentuk dan aneka produknya. Tak cukup berhenti sampai disini, virus ini mampu mematikan rasionalitas masyarakat pula. Ujung pangkal dari kesemuanya ini adalah mulusnya jalan kapitalisme.
3/
Orang banting tulang bekerja tak kenal lelah buat membeli barang yang sesungguhnya tak terlalu ia butuhkan. Para kapitalis mereproduksi ulang aneka ragam realitas lewat iklan dan memanipulasi kebutuhan kita hingga maujud menjadi realitas semu. Sehingga mendorong kita untuk membeli barang yang tidak kita butuhkan dibanding barang yang kita butuhkan. Atau membeli barang yang sama tapi dengan harga berkali lipat lebih tinggi untuk mengejar merk semata. Iklan-iklan yang terpancang tak ubahnya seperti opium yang mengandung kekuatan dan candu untuk menarik masyarakat agar melihat dan berpetualang dalam ruang maya (ralitas semu) kemudian mendorong mereka untuk membeli apa yang ada dalam iklan. Daftar ‘dosa’ semacam ini masih sangat panjang jika kita amati dan gali. Beralih pada kasus lain, orang-orang hari ini tak sedikit yang terjebak dalam pseudo-existensi atau eksistensi semu pada berbagai media sosial.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa media sosial telah berkembang dan menawarkan fitur-fitur yang beragam seiring kemajuan dan kebutuhan jaman. Tetapi kemajuan dan kebutuhan ini justru menambah runtutan keanehan yang lahir dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Keberadaan HP misal, adalah hasil dari kemajuan yang semakin memperluas jangkauan realitas semu. Karena HP dapat mewadahi orang-orang yang haus akan eksistensi. Ada orang yang gatal jika sehari saja mengunggah life stylenya di instagram, ada pula yang merasa harinya tak lengkap jika tak menulis status yang sebenarnya merupakan copy-paste dari para tokoh terkemuka sampai para pemikir di facebook. Bahkan yang lebih absurd, ada orang-orang yang malas untuk mandi/makan jika belum mengunggah suatu warta kapan ia bangun dan kembali tidur pada Path. Padahal siapa pula yang perduli kapan ia bangun dan tidur? Meski pada dunia sosial apabila kita melakukan perbandingan tentu saja ada sisi baik dan sisi buruk. Tetapi walau bagaimanapun. Media sosial merupakan wadah yang mempertontonkan kekonyolan-kekonyolan tiada henti. Beginilah realitas masyarakat kontemporer kita pada saat ini, maka tak jarang banyak orang kacau balau kehidupannya, oleh karenanya tak ada cara lain unruk mencegah selain menyadari dan mulai memilih dan memilah apa yang menjadi kebutuhan kita dan apa yang tidak. Terlebih lagi menyadari bahwa kita berada pada suatu kenyataan semu.
4/
Saya menengarai bahwa kondisi masyarakat seperti inilah yang membuat Sukri berupaya menarasikan mekanisme kerja budaya massa yang membentuk masyarakat kontemporer lewat 41 jepretan. Hmm… 41. Angka ini mengingatkan saya pada sifat Tuhan. Yakni 20 sifat wajib, 20 sifat mukhal dan 1 sifat jaiz. Apakah ini bagian dari konsep atau ketaksengajaan. Hanya Sukri yang tahu. Setidaknya secara jumlah karya tercium aroma spiritual-relijus. Apalagi pintu gerbang buku ini dia hias dengan potret pekuburan dibawah bayang-bayang mitos budaya massa (iklan provider). Seakan hendak berteriak keras-keras untuk mengingatkan dirinya sendiri dan para pembaca budiman bahwa budaya masyarakat kontemporer hari ini sesungguhnya sedang mengantar manusia berjalan ke altar pemakamannya sendiri. Sebuah kematian yang ditakuti semua orang, mustahil dihindari tapi diam-diam dimaui dan di lakoni dengan senang hati. Ironis, karena hal ini tak disadari sama sekali. Kaver serupa ini secara extrim dapat dimaknai, jika Yogyakarta, sebagai kota pendidikan, seni-budaya, serta kaya akan nilai-nilai adi luhung tengah terhuyung-huyung dalam pusara yang semakin hari semakin mengebiri dirinya sendiri. Memang, Tak ada yang bisa menghindar dari tumbuh kembangnya jaman. Pula mustahil untuk melawan. Situasi chaos semacam ini hanya bisa dinarasikan secara kritis, dan berharap bahwa sajian-sajian narasi kritis dapat mengantarkan kita pada suatu kesadaran kritis. Ditambah lagi tepat satu halaman sebelum kita merenangi 41 karya foto Sukri, sebaris narasi kecil berbunyi “untuk yang mau melihat” menyambut kita. Saya curiga dengan kata-kata ini. Mengapa bukan “semoga menikmati” atau “selamat menikmati”. Disini kecerdikan Sukri nampak. Saya tengarai hal ini. Karena dia memilih kata-kata yang beraroma pesimis, pasrah dan tak memaksa. Tetapi ia sudah menjebak kita lewat kaver depan untuk bersegera masuk ke dalam. Dia ingin bermain-main dengan imaji pembaca. Setelah ia membuat pintu gerbang pembuka bernuansa ironis, kemudian ia menghadang kita dengan kata-kata retoris, lalu memungkasinya dengan pertanyaan “Sudah melihat?”. Sukri, oh Sukri. Sudah minum teh? Jangan lupa ngudut loh!
Salam kopi hitam
Sewon, Yogyakarta, 22 Pebruari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar