I
Bukanlah nyawa terjemput sebab takdir sang kuasa, atau
tercerabut paksa atas suatu musibah, melainkan mengada
pada sekumtum bunga yang kehilangan sarinya, atau sepohon buah yang tak
berbuah, sesumber mata air yang mengering di sudut kerling gegunungan, itulah
saat dimana tuntas nyawa yang menubuh dalam raga bersendawa menuruti titah Allah
ta’ala.
II
Sepanjang perjalanan masa, para guru hidup dialam
kesunyian demi penerangan jejalanan para murid. Mereka singkirkan duri-duri di
kaki pengetahuan agar jalanan menerang riang. Mereka merobek-robek jiwa demi terajutnya
tali temali pencerahan, melapar demi satu tujuan; supaya para penempu jalan
ilmu tak menemu lapar pengetahuan
III
Pada satu waktu, peristiwa mengguncang alam kesunyian,
tatkala benih-benih yang mereka tanam tumbuh tanpa tau hakikat ilmu. Jiwa
meradang saat bunga-bunga harapan menjelma batu karang, mengeras mengabaikan
ombak,dan berpaling dari luasnya samudera, lalu tegak berdiri dan berteriak
jumawa; aku berdiri diatas kakiku sendiri tanpa ada yang kuikuti, persetan deretan
tuntutan yang memenjaraku dari telunjuk tuan berpengetahuan.
IV
Saat itu menangis alam raya, meraung segala fauna,
mengering jutaan flora mendengar gema gaung jumawa. Terkelupas tabir kelam
dihadapan para penghamba setan, kebaikan menjauh kalang kabut, sebagian menyelam
ke dasar samudera, sebagian memendam di perut dunia, lenyap seketika sesinaran
matahari di padang siang.
V
Bukankah kisah Bal’am bin Baurah memberi banyak
hikmah, supaya keseimbangan tata nuansa tetap terjaga, atau berkaca pada
kadigdayanya Barsesah yang terpuruk di lembah hitam pituturan diri yang menuai
laknat ilahi. Tancapkanlah dalam jiwa tanpa tanya, bahwa kalam-kalam tak kan
tercerabut dari goresannya, kalam-kalam senantiasa niscaya pada dimensi dan
kedalaman aumannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar