I
Saat
menyusuri takdir jaman, kutemukan orok nasib berbaris diujung malam, dengan
mata nanar tanpa harap, tangan sedeku dilingkar tanya menunggu fajar yang
mustahil menjemput pagi. Sebab, kawanan angkara bersiaga tanpa mata, mereka hanya
tau satu kata, bunuh dan bunuh dan bunuh dan bunuh.
II
Alangkah
lunglai nasib perih dikerling luka serupa ini, ia terputari jerat temali
kematian rasa. Menyungsang kemanusiaan dihadapan manusia yang tak mengerti arti
kata manusia. Hanya satu tafsir dari kata manusia, mangsa. Aneh nian jika
kehilangan rasa kemanusiaan tak membuatnya gemetar.
III
Orok-orok
nasib masih termenung di tepi jaman, menanti kasih yang terperih sebab rasa
menuju mati. Kematian tak lagi dirasa, satu persatu orok-orok tumbang tertebang
jaman. Terjatuh di bumi yang tk mereka maui. Sungguh, panorama darah menyeruak
nyata dihadapan mata-mata buta.
IV
Menari-narilah
bahagia diatas panggung nestapa. Segerak pikir menggiring nalar menuju pandir,
seutas senyum lara mengejek takdir Ilahiyah disaat senja tak lagi memerah.
Gegulungan kesakitan mengiris pintu nasib, sengasara mengada.
V
Sebangun
nilai rasa jiwa menjadi barang langka disudut kesakitan dunia. Bunga-bunga
mekar lelayu seketika, burung-burung meninggalkan sarangnya menjadi pengembara,
menghindar tawa angkara. Selaras getas berkelindan senyum yang terpangkas, lalu
menubuh pada seranting pohon dipemakaman tua tak terjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar