Cari Blog Ini

Rabu, 13 September 2017

Dari Bilik Kota Tua

I
Saat menyusuri takdir jaman, kutemukan orok nasib berbaris diujung malam, dengan mata nanar tanpa harap, tangan sedeku dilingkar tanya menunggu fajar yang mustahil menjemput pagi. Sebab, kawanan angkara bersiaga tanpa mata, mereka hanya tau satu kata, bunuh dan bunuh dan bunuh dan bunuh.

II
Alangkah lunglai nasib perih dikerling luka serupa ini, ia terputari jerat temali kematian rasa. Menyungsang kemanusiaan dihadapan manusia yang tak mengerti arti kata manusia. Hanya satu tafsir dari kata manusia, mangsa. Aneh nian jika kehilangan rasa kemanusiaan tak membuatnya gemetar.

III
Orok-orok nasib masih termenung di tepi jaman, menanti kasih yang terperih sebab rasa menuju mati. Kematian tak lagi dirasa, satu persatu orok-orok tumbang tertebang jaman. Terjatuh di bumi yang tk mereka maui. Sungguh, panorama darah menyeruak nyata dihadapan mata-mata buta.

IV
Menari-narilah bahagia diatas panggung nestapa. Segerak pikir menggiring nalar menuju pandir, seutas senyum lara mengejek takdir Ilahiyah disaat senja tak lagi memerah. Gegulungan kesakitan mengiris pintu nasib, sengasara mengada.

V
Sebangun nilai rasa jiwa menjadi barang langka disudut kesakitan dunia. Bunga-bunga mekar lelayu seketika, burung-burung meninggalkan sarangnya menjadi pengembara, menghindar tawa angkara. Selaras getas berkelindan senyum yang terpangkas, lalu menubuh pada seranting pohon dipemakaman tua tak terjaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog